|
|
|
BANYAK
cara untuk mengenang kunjungan seorang sahabat. Di masa lalu dan di
masa kini, cara-cara yang dilakukan tentu saja berbeda. Sekarang orang
mengenang kunjungan itu dengan melakukan foto bersama, lalu
tukar-menukar cenderamata.
"Kalau mahasiswa yang lagi melaksanakan kuliah kerja
nyata (KKN) pasti membuat tugu peringatan di desa yang dijadikan objek
KKN, ditulisi nama universitas dan semacamnya. Malah ada yang KKN-nya
tak jelas, yang dikerjakan tidak berbekas ke masyarakat, tetapi tugu
kenang-kenangannya dibuat besar," kata teman saya. Memang, saya sering
melihat hal ini, ada yang dibuat di tebing-tebing desa dengan semen cor
yang rapi.
Bagaimana dengan masa lalu?
Danghyang Nirartha melakukan perjalanan spiritual ke Bali, dan di mana
pun beliau singgah di situ masyarakat setempat membuat kenang-kenangan.
Karena beliau seorang tokoh spiritual, dan nyata-nyata melakukan dharma
duta, kenang-kenangannya itu kini lebih banyak dijadikan tempat suci.
Payogan (tempat beryoga atau bersemadi) Danghyang Niratha di Teluk
Terima, pesisir pantai Bali Utara baru saja diperbaiki. Saya
sungguh-sungguh tidak tahu kalau tempat itu tadinya adalah tempat Sang
Mpu melakukan semadi. Kawasan itu sejak kecil saya kenal sebagai tempat
dikuburnya Nyoman Jayaprana, "pahlawan" dari Desa Kalianget yang dibunuh
atas perintah raja.
Tradisi
meninggalkan jejak rupanya sudah ada sejak berabad-abad. Karena rentang
waktu panjang itu tanpa disertai dokumen tertulis, jejak peninggalan
masa lalu itu ada yang masuk akal untuk masa kini, ada yang sama sekali
tidak masuk akal. Yang tak masuk akal ini sudah menjadi sebuah legenda,
bisa dipercaya kalau mau percaya, bisa diabaikan kalau memang sulit
mempercayainya. Misalnya, di Pantai Soka, Tabanan, ada onggokan karang
yang cukup luas di muara sungai. Menurut legenda di sebagian masyarakat,
itu adalah peninggalan peralatan dapur Kebo Iwa. Apa itu? "Periuk Kebo
Iwa," kata orang-orang. Mau percaya atau tidak, terserah saja.
Legenda-legenda
seperti ini tentu saja sangat banyak. Gunung Tangkuban Perahu di Jawa
Barat, konon adalah perahu Sangkuryang yang terbalik karena kena
kutukan. Batu besar di pantai barat Padang, Sumatera Barat, konon adalah
kutukan buat Malinkundang, karena tidak mengakui ibu kandungnya yang
miskin. Bahkan di pantai itu ada kawasan yang diberi nama Taman Siti
Nurbaya, konon tempat bermain-mainnya Siti Nurbaya di masa "hidupnya".
Bagaimana mempercayai hal ini, karena nyatanya roman Siti Nurbaya itu
adalah karya fiksi karangan Marah Roesli, kakek pemusik Hary Roesli.
***
BAGAIMANA
dengan jejak-jejak masa lalu yang kini terdapat di Pura Gambur
Anglayang Desa Kubu Tambahan, Buleleng? Sangat menarik untuk ditelusuri,
apa sebenarnya yang terjadi ketika pura ini didirikan. Di situ ada
pelinggih yang aneh-aneh kalau kita kaitkan pura sebagai tempat
persembahyangan umat Hindu. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan, konon
untuk menghormati unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu, Ratu
Ayu Syahbandar, Ratu Manik Mas yang konon menunjukkan unsur Cina,
pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan
unsur Hindu, dan yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang
memperlihatkan unsur Islam. Bagaimana mungkin sebuah tempat
persembahyangan Hindu ada pemujaan untuk agama lain, yakni Islam? Dan
apa pula agama yang dipeluk oleh "unsur Cina" dan "Suku Sunda" itu?
Saya
belum pernah mengunjungi Pura Gambur Anglayang ini, lokasinya pun tidak
tahu. Saya juga belum dapat informasi, apakah jika terjadi piodalan di
pura itu, semua pelinggih ini dihaturkan sesajen? Kalau ya, jenis
sesajen apa saja yang diberikan di pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah?
Apapun sesajennya, maka saya akan semakin bingung -- dan sekaligus
berminat untuk mengetahui -- apakah benar pelinggih Ratu Gede Dalem
Mekah itu mewakili "unsur Islam"? Apakah Mekah itu yang dimaksudkan
adalah Mekah yang selama ini dikenal sebagai kota suci umat Islam,
tempat Kabah yang dimuliakan umat Muslim sedunia itu? Kalau ini
lagi-lagi ada kaitannya, bagaimana menjelaskan hal ini dari sudut ajaran
Islam, yang ritualnya sangat berbeda dengan Hindu?
Beberapa
tahun lalu, saya pernah berdiskusi dengan dramawan Ikranegara mengenai
cerita yang populer di Bali, Tamtam. Dalam cerita itu ada disebutkan
Mesir. Apakah Mesir ini sama dengan negeri Mesir di Timur Tengah itu?
Apakah nama Tamtam yang aneh itu memang bersumber dari cerita atau
legenda dari Timur Tengah? Kalau ya, bagaimana menjelaskan filosofi
cerita itu, kok kaitannya dengan ajaran Hindu juga besar? Diskusi tak
menghasilkan apa-apa, karena yang didiskusikan sesuatu yang miskin
sekali informasinya.
Tentu saja saya percaya,
para budayawan di Buleleng dan peminat sejarah serta peminat purbakala
bisa menjelaskan tentang pelinggih-pelinggih yang unik di Pura Gambur
Anglayang itu. Yang pertama harus dijelaskan adalah apakah pelinggih itu
semacam "tanda bukti persahabatan" yang berlangsung di abad itu.
Maksudnya, warga setempat menerima kedatangan tamu dari berbagai suku
dan agama, lalu karena berkesannya persabahatan itu dibuatkan "tanda
persabahatan" atau dalam bahasa sekarang "monumen" untuk mengenangnya.
Yang kedua dijelaskan, apakah nama Sundawan benar dari Sunda, apakah
Mekah benar kota suci Mekah. Yang ketiga menyangkut agama itu, terutama
apakah benar menyangkut agama Islam?
Jika salah
menjelaskan hal ini, "tanda bukti persabahatan" itu bisa menimbulkan
polemik untuk masa sekarang, apalagi kalau pelinggih itu dipuja
sebagaimana umat Hindu memuja pelinggih suci. Emha Ainun Nadjib bisa
kagum melihat bukti kerukunan itu di masa lalu, dan semua orang bisa
juga kagum mengenang bagaimana di abad silam kerukunan demikian
bagusnya. Tetapi, karena warisan ini dipelihara secara tradisi dengan
cara-cara ritual Hindu karena letaknya di dalam pura, jangan-jangan akan
menimbulkan masalah di masa kini.
Dalam hati
kecil, saya lebih senang kalau kata "Mekah" yang ada dalam Ratu Gede
Dalem Mekah bukan kota suci Mekah di Arab Saudi sekarang ini, tetapi
desa Mekah yang ada di Probolinggo atau Mojokerto atau mungkin nama yang
mirip itu di pelosok Bali. Dengan begitu Gede Dalem Mekah hanyalah Mpu
Tanrupa atau Ki Ngelawang yang datang dari Majapahit, sehingga tak
apa-apalah sekarang dipuja dengan sesajen khas Hindu.