HINDU SOPOYONO: "Dalem Mekah" ~ Pura Gambur Anglayang
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Minggu

"Dalem Mekah" ~ Pura Gambur Anglayang




BANYAK cara untuk mengenang kunjungan seorang sahabat. Di masa lalu dan di masa kini, cara-cara yang dilakukan tentu saja berbeda. Sekarang orang mengenang kunjungan itu dengan melakukan foto bersama, lalu tukar-menukar cenderamata.

"Kalau mahasiswa yang lagi melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) pasti membuat tugu peringatan di desa yang dijadikan objek KKN, ditulisi nama universitas dan semacamnya. Malah ada yang KKN-nya tak jelas, yang dikerjakan tidak berbekas ke masyarakat, tetapi tugu kenang-kenangannya dibuat besar," kata teman saya. Memang, saya sering melihat hal ini, ada yang dibuat di tebing-tebing desa dengan semen cor yang rapi. 

Bagaimana dengan masa lalu? Danghyang Nirartha melakukan perjalanan spiritual ke Bali, dan di mana pun beliau singgah di situ masyarakat setempat membuat kenang-kenangan. Karena beliau seorang tokoh spiritual, dan nyata-nyata melakukan dharma duta, kenang-kenangannya itu kini lebih banyak dijadikan tempat suci. Payogan (tempat beryoga atau bersemadi) Danghyang Niratha di Teluk Terima, pesisir pantai Bali Utara baru saja diperbaiki. Saya sungguh-sungguh tidak tahu kalau tempat itu tadinya adalah tempat Sang Mpu melakukan semadi. Kawasan itu sejak kecil saya kenal sebagai tempat dikuburnya Nyoman Jayaprana, "pahlawan" dari Desa Kalianget yang dibunuh atas perintah raja. 

Tradisi meninggalkan jejak rupanya sudah ada sejak berabad-abad. Karena rentang waktu panjang itu tanpa disertai dokumen tertulis, jejak peninggalan masa lalu itu ada yang masuk akal untuk masa kini, ada yang sama sekali tidak masuk akal. Yang tak masuk akal ini sudah menjadi sebuah legenda, bisa dipercaya kalau mau percaya, bisa diabaikan kalau memang sulit mempercayainya. Misalnya, di Pantai Soka, Tabanan, ada onggokan karang yang cukup luas di muara sungai. Menurut legenda di sebagian masyarakat, itu adalah peninggalan peralatan dapur Kebo Iwa. Apa itu? "Periuk Kebo Iwa," kata orang-orang. Mau percaya atau tidak, terserah saja. 

Legenda-legenda seperti ini tentu saja sangat banyak. Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat, konon adalah perahu Sangkuryang yang terbalik karena kena kutukan. Batu besar di pantai barat Padang, Sumatera Barat, konon adalah kutukan buat Malinkundang, karena tidak mengakui ibu kandungnya yang miskin. Bahkan di pantai itu ada kawasan yang diberi nama Taman Siti Nurbaya, konon tempat bermain-mainnya Siti Nurbaya di masa "hidupnya". Bagaimana mempercayai hal ini, karena nyatanya roman Siti Nurbaya itu adalah karya fiksi karangan Marah Roesli, kakek pemusik Hary Roesli. 

***
BAGAIMANA dengan jejak-jejak masa lalu yang kini terdapat di Pura Gambur Anglayang Desa Kubu Tambahan, Buleleng? Sangat menarik untuk ditelusuri, apa sebenarnya yang terjadi ketika pura ini didirikan. Di situ ada pelinggih yang aneh-aneh kalau kita kaitkan pura sebagai tempat persembahyangan umat Hindu. Ada pelinggih Ratu Bagus Sundawan, konon untuk menghormati unsur Suku Sunda, pelinggih Ratu Bagus Melayu, Ratu Ayu Syahbandar, Ratu Manik Mas yang konon menunjukkan unsur Cina, pelinggih Ratu Pasek, Dewi Sri dan Ratu Gede Siwa yang mencerminkan unsur Hindu, dan yang paling unik pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah yang memperlihatkan unsur Islam. Bagaimana mungkin sebuah tempat persembahyangan Hindu ada pemujaan untuk agama lain, yakni Islam? Dan apa pula agama yang dipeluk oleh "unsur Cina" dan "Suku Sunda" itu? 

Saya belum pernah mengunjungi Pura Gambur Anglayang ini, lokasinya pun tidak tahu. Saya juga belum dapat informasi, apakah jika terjadi piodalan di pura itu, semua pelinggih ini dihaturkan sesajen? Kalau ya, jenis sesajen apa saja yang diberikan di pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah? Apapun sesajennya, maka saya akan semakin bingung -- dan sekaligus berminat untuk mengetahui -- apakah benar pelinggih Ratu Gede Dalem Mekah itu mewakili "unsur Islam"? Apakah Mekah itu yang dimaksudkan adalah Mekah yang selama ini dikenal sebagai kota suci umat Islam, tempat Kabah yang dimuliakan umat Muslim sedunia itu? Kalau ini lagi-lagi ada kaitannya, bagaimana menjelaskan hal ini dari sudut ajaran Islam, yang ritualnya sangat berbeda dengan Hindu? 

Beberapa tahun lalu, saya pernah berdiskusi dengan dramawan Ikranegara mengenai cerita yang populer di Bali, Tamtam. Dalam cerita itu ada disebutkan Mesir. Apakah Mesir ini sama dengan negeri Mesir di Timur Tengah itu? Apakah nama Tamtam yang aneh itu memang bersumber dari cerita atau legenda dari Timur Tengah? Kalau ya, bagaimana menjelaskan filosofi cerita itu, kok kaitannya dengan ajaran Hindu juga besar? Diskusi tak menghasilkan apa-apa, karena yang didiskusikan sesuatu yang miskin sekali informasinya. 

Tentu saja saya percaya, para budayawan di Buleleng dan peminat sejarah serta peminat purbakala bisa menjelaskan tentang pelinggih-pelinggih yang unik di Pura Gambur Anglayang itu. Yang pertama harus dijelaskan adalah apakah pelinggih itu semacam "tanda bukti persahabatan" yang berlangsung di abad itu. Maksudnya, warga setempat menerima kedatangan tamu dari berbagai suku dan agama, lalu karena berkesannya persabahatan itu dibuatkan "tanda persabahatan" atau dalam bahasa sekarang "monumen" untuk mengenangnya. Yang kedua dijelaskan, apakah nama Sundawan benar dari Sunda, apakah Mekah benar kota suci Mekah. Yang ketiga menyangkut agama itu, terutama apakah benar menyangkut agama Islam? 

Jika salah menjelaskan hal ini, "tanda bukti persabahatan" itu bisa menimbulkan polemik untuk masa sekarang, apalagi kalau pelinggih itu dipuja sebagaimana umat Hindu memuja pelinggih suci. Emha Ainun Nadjib bisa kagum melihat bukti kerukunan itu di masa lalu, dan semua orang bisa juga kagum mengenang bagaimana di abad silam kerukunan demikian bagusnya. Tetapi, karena warisan ini dipelihara secara tradisi dengan cara-cara ritual Hindu karena letaknya di dalam pura, jangan-jangan akan menimbulkan masalah di masa kini. 

Dalam hati kecil, saya lebih senang kalau kata "Mekah" yang ada dalam Ratu Gede Dalem Mekah bukan kota suci Mekah di Arab Saudi sekarang ini, tetapi desa Mekah yang ada di Probolinggo atau Mojokerto atau mungkin nama yang mirip itu di pelosok Bali. Dengan begitu Gede Dalem Mekah hanyalah Mpu Tanrupa atau Ki Ngelawang yang datang dari Majapahit, sehingga tak apa-apalah sekarang dipuja dengan sesajen khas Hindu. 


* Putu Setia