HINDU SOPOYONO: MANA APARAT & TOKOH
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Selasa

MANA APARAT & TOKOH

13515422791251547164Warga Sesalkan  Pemerintah
 
PERANG susulan antar desa di Lampung Selatan (Lamsel) kemarin membuat Lamsel makin berdarah-darah. Korban tewas menjadi 12 orang. Ratusan rumah dan dua mobil milik polisi ludes dibakar. Patut disayangkan, hingga hari ketiga perang berbau SARA tersebut belum bisa dihentikan.
 
Perang melibatkan belasan ribu warga asli Lamsel dan ribuan warga Bali di Kecamatan Waypanji kemarin berlangsung dari pukul 13.00 sampai 17.00 WIB. Belasan ribu massa gabungan warga Desa Agom baru meninggalkan Desa Balinuraga sekitar pukul 17.00 WIB setelah berhasil memporak-porandakan pemukiman warga Bali tersebut.

Bahkan dari informasi yang dihimpin di lokasi, akibat perang lima jam itu dari kubu warga Bali meninggal 9 (sembilan) orang. Sementara dari kubu warga Desa Agom dua orang luka serius. Tragisnya, diantara korban tewas yang merupakan warga Balinuraga itu ada yang kepalanya terputus dari badannya.

Hingga berita ini diturunkan, baru dua orang tewas yang teridentifikasi. Yakni, Celang (45) dan Wan Putu (41)  keduanya warga Balinuraga. Sementara empat korban lainya belum diperoleh identitasnya meski dipastikan warga yang tewas tersebut berasal dari Desa Balinuraga. Sementara korban dari kubu warga asli Kalianda Ijal (35) warga Negeri Pandan Kalianda mengalami luka bacok kepala dan Adi (30) warga Bandardalam Sidomulyo luka bacok pada bagian betis kiri.

Sebelum pecah perang pecah, massa warga Agom berkumpul di Lapangan Dusun Waringin Harjo, Desa Agom, Kecamatan Kalianda, sekitar pukul 10.00 WIB. Massa bekumpul di sana hingga pukul 13.00 WIB. Dengan membawa berbagai jenis senjata tajam (sajam),  mulai dari celurit, bambu runcing, pedang dan golok, massa kemudian bergerak maju ke arah Desa Balinuraga. Namun, sekitar pukul 13.40 wib, massa tertahan di Desa Patok, Kecamatan Waypanji oleh puluhan personel polisi. 

Namun tidak berlangsung lama. Hanya sekitar 15 menit dan massa kembali bergerak. Sekitar pukul 14.45 WIB, massa kembali  tertahan di perbatasan antara Desa Sidoharjo dan Sidoreno oleh ratusan personel gabungan Dalmas dan Brimob. Disana, massa sempat bersitegang dengan aparat. Bahkan, gabungan personel Polri yang langsung dipimpin Kapolres Lamsel, AKBP Tatar Nugroho sempat melepaskan gas air mata untuk menghadang massa. 

Namun, massa yang sudah bertekad bulat menyerang Desa Balinuraga terus maju. Mereka kemudian berpencar dan menerobos masuk ke Desa Sidoreno dan Balinuraga melalui pematang sawah dan jalan-jalan sempit desa itu. Aparat Kepolisian dan gabungan TNI tidak dapat berbuat banyak menghadang  massa. Karena jumlah massa yang mencapai belasan ribu. Sementara, sekitar seribuan massa sudah siap siaga di Desa Sidoreno dan Balinuraga dengan membawa berbagai jenis sajam. 

Melihat rumah yang terbakar  sudah dimasuki massa, mereka menyambutnya dengan senjata. Sehingga, bentrok tidak dapat terelakkan. Perang mulai terjadi di sekitar pematang sawah. Selain saling hantam, massa juga merusak rumah dan membakar rumah warga dengan melemparinya dengan bom ikan. Akibatnya, ratusan rumah terbakar dalam kejadian itu, Penyerangan yang hanya berlangsung sekitar satu setengah jam itu mengakibatkan Desa Sidoreno dan Balinuraga luluh lantak. Korban berjatuhan dan ratusan rumah terbakar.

Kapolres Lamsel, AKBP Tatar Nugroho ditemui di lokasi kejadian belum dapat memberikan keterangan resmi. Pihaknya baru akan mengevakuasi korban. “Nanti saja, kami  masih menyelidiki dan mendata jumlah korban. Termasuk mendata rumah yang terbakar,” kata Tatar singkat.

Sebelumnya bentrok massa terjadi di Lamsel. Tiga warga tewas, dan tiga lainnya luka parah dari kubu Lampung dalam bentrok yang terjadi di Desa Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Lamsel, Minggu (28/10) sekitar pukul 10.00 WIB. Korban tewas dalam kejadian itu adalah Marhadan (35), warga Dusun Jembatbesi Desa Gunung Terang Kecamatan Kalianda. Ia tewas karena mengalami luka robek pada leher dan paha sebelah kanan, robek kepala bagian belakang dan luka robek bagian pinggang sebelah kiri.

Kemudian Jahya (30) warga Desa Jati Permai Kecamatan Kalianda yang luka robek pada muka, perut dan paha sebelah kiri dan luka robek tak beraturan pada bagian punggung. Lalu, Alwin (35 Solihin warga Desa Sukaraja Tajimalela Kecamatan Palas, luka robek pada bagian muka, kepala bagian belakang dan bagian dada.
Sementara, korban luka-luka yaitu Ipul (33) warga Bandardalam Tengah Kecamatan Sidomulyo, ia mengalami luka robek pada paha kanan dan luka temak bagian betis kanan. Mukmin (25) warga Desa Sukaratu Kecamatan Kalianda Lamsel, mengalami luka robek tangan kanan dan betis kanan, Ramli (51) warga Desa Gunung Terang Kecamatan Kalianda mengalami luka cacak tak beraturan pada punggung dan perut.

SEJUMLAH warga mempertanyakan peran tokoh masyarakat dan aparat, termasuk pemerintah daerah Lampung Selatan (Lamsel) dalam pencegahan perang antar warga di Waypanji, Lampung Selatan (Lamsel).
Menurut salah seorang warga Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Lamsel, Amri (34), pecah perang akibat apatis dan abainya jajaran tokoh dan bukti mediasi yang gagal dari pemerintah daerah. “Mana aparat, apa peran mereka kok desa kami jadi begini,” katanya pada Editor dengan sedih, kemarin.

Konflik yang sudah berlangsung tiga hari, lanjutnya, seharusnya bisa dicegah dengan membuat kanalisasi dan konsentrasi massa. “Tiba- tiba, kami rindu tipikal pemimpin yang bukan hanya mengaku- ngaku tokoh, tapi benar- benar mengayomi. Sekarang mana tokoh kita,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Sutris, tokoh pemuda Sidoharjo, Waypanji itu menyesalkan gagalnya peran pemerintah dan jajaran tokoh setempat dalam mengendalikan warganya. “Jika mereka mampu mengendalikan warganya, pasti tak terjadi konflik berdarah yang membuat kita semua sedih dan dicekam ketakutan,” terangnya sambil berkaca- kaca menyaksikan kepulan asap hitam dari Desa Balinuraga.

Bunyi teriakan dan suara- suara letusan itu, terdengar sayup-sayup dari rumahnya yang terletak di Dusun Surabaya Desa Sidoharjo. “Padahal saya dengar dari teman- teman di Agom, ribuan massa mulai berkumpul di lapangan Dusun Waringin Harjo sejak jam 08.00 dan baru menyerang dengan berjalan sekitar jam 12.00 artinya tak ada upaya menghalau penyerangan itu dari tokoh atau pemerintah,” katanya.

Lihat saja, lanjutnya, aparat sebanyak itu hanya jadi tukang foto dan tak mampu membendung amukan massa. “Dan lagi, mana ini, kemana mereka yang sudah jadi para pemimpin yang dulu waktu mau pilkada, pemilu sibuk kampanye dan tebar pesona,” tukasnya.

Diperlukan Rekonstruksi Sosial 

KONFLIK berbau SARA yang terjadi di Waypanji, Lampung Selatan, akibat adanya ekslusifitas. Karenanya perlu dilakukan rekonstuksi sosial agar tidak terjadi lagi pertikaian buntut ekslusifitas tersebut.
Demikian diungkapkan akademisi yang juga sosiolog dari Unila Pairulsyah ketika diminta pandangannya atas perang di Lamsel, kemarin. Menurutnya, dari perspektif sosiologis, konflik yang terjadi karena telah terbentuknya pola masyarakat ekslusif pasca orde baru, yang kemudian terjadi masyarakat ingroup hingga berujung pada konflik SARA.

“Konflik terjadi karena telah terbentuknya masyarakat yang ekslusif. Masyarakat ekslusif itu terbentuk pada rezim orde baru. Keesklusifan masyarakat ini yang memicu terjadinya konflik SARA seperti yang terjadi di Lampung Selatan,” papar Pairulsyah.

Ditambahkan, konsep rekontruksi sosial merupakan suatu rancangan untuk membentuk suatu masyarakat yang hidup sejahtera, damai secara berdampingan. “Untuk melaksanakan rekonstruksi sosial tersebut perlu dibuatkan suatu wadah antara masyarakat yang berkonflik kemudian dibuatkan suatu kegiatan bersamaan. Tidak terbentuk lagi masyarakat ekslusif dan terciptanya masyarakat yang terbuka,” tandasnya.

Pairulsyah menyebut konflik serupa juga pernah terjadi di Lamsel, namun karena akar permasalahan konflik itu tidak selesai maka konflik terulang lagi. Karena dampak dari konflik itu ialah psikologis, rasa kecewa, dendam dan ketakutan maka diperlukan keseriusan dari pihak kepolisian melakukan pembinaan lansung kepada masyarakat. 

Pemerintahan Kabupaten Lamsel, tokoh mastarakat, dan kepolisian harus mengajak masyarakat yang berkonflik berdamai dengan konsep muari yakni konsep berdamai dengan tidak saling mencari kesalahan namun lebih mnegutamakan prinsip win-win solusiton.

Polisi Evakuasi Warga Balinuraga

JAJARAN kepolisian tadi malam berhasil mengosongkan Desa Balinuraga, Waypanji. Warga yang hingga tadi malam masih bertahan dievakuasi untuk mencegah terjadinya serangan susulan dari massa Desa Agom, Kalianda. Sedikitnya tercatat 192 warga Balinuraga, tadi malam diboyong ke Sekolah Polisi Negera (SPN) Kemiling, Bandarlampung. 

Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih menjelaskan, warga Balinuraga diangkut menggunakan kendaraan milik polisi. Sesampainya di SPN mereka terlihat saling bergerombol. Mereka mengaku trauma dengan kejadian tiga hari terakhir. Mengingat kejadian serupa bukan kali pertama.

Ditambahkan Sulistyaningsih, untuk mencegah agar bentrok tidak meluas, Polda Lampung menambahkan 500 personel yang tergabung dari kepolisian Banten dan Jakarta terjun ke lokasi kejadian untuk mengamakan lokasi. 

Bersyukur, Gubernur Merangkul
GUBERNUR Lampung Sjachroedin ZP hari ini menjadwalkan melakukan pertemuan dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Lampung. Pertemuan dimaksudkan untuk mencari langkah strategis terkait dengan perang antarkampung Warga Lampung Selatan (Lamsel) itu juga melibatkan para tokoh masyarakat se-Lampung.

“Kami mendapat undangan dari gubernur untuk membahas bentrok di Lamsel. Pertemuan di Pemprov Lampung itu juga melibatkan para tokoh masyarakat se-Lampung,” terang Widi, salah satu aktivis organisasi sosial keagamaan, tadi malam.

Meski terlambat, kata Widi, apa yang dilakukan gubernur patut diapresiasi sehingga pihaknya berharap pertemuan akan menghasilkan langkah konkrin bukan saja dalam penanganan kasus di waypanji Lamsel tapi juga antisipasi hal serupa kedepannya. “Memang sih terlambat, perang antar kampong sudah pecah dan korban nyawa bergelimpangan. Tapi ini lebih baik dari pada terus hanya jadi penonton, gerak dan kiprak kita ormas social dan para tokoh tidak terlihat,” ungkapnya.

Terpisah, sejumlah tokoh ormas dan pimpinan parpol berharap pemerintah khusnya Pemkab Lamsel segera mengambil tindakan kongkrit agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. Selain itu mereka juga meminta media mampu mengambil peran dalam meredam kemarahan massa.

Humas DPW PKS Lampung, Detti Febrina mendampingi Ketua DPW PKS Lampung, Gufron Azis Fuadi mengatakan keprihatinannya terhadap kerusuhan yang terjadi. Karenannya pihaknya berharap agar kerusuhan tersebut segera diselesaikan sampai keakarnya dan tidak pernah terjadi lagi di Lampung. ”Dulu Forkopimda pernah duduk bersama warga berkonflik. Pernah ada upaya, tapi mungkin penyelesaian belum menyentuh akar konflik. Konflik hanya akan menyisahkan kepedihan. Kita semua harus membantu untuk menyelesaikannya, minimal tidak memperkeruh. Karenannya, selain pemerintah, media massa juga harus ikut berkontribusi meredakan konflik, bukan justru memperuncing situasi yang tanpa disulutpun sudah potensial menyebabkan sumbu konflik terbakar,” kata Gufron, kemarin.

Menurut Gufron, penyelesaian konflik antar etnis di sejumlah daerah rawan konflik juga harus melibatkan partisipasi kalangan pers. Pers justru harus berfungsi sebagai juru damai. ”Lihat saja untuk kejadian Waypanji dan Balinuraga ini, tanpa harus menyajikan berita yang provokatif pun, dimasyarakat sudah beredar himbauan atau pesan bernada provokasi,” ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Lampung, Hidir Ibrahim. Ia mengungkapkan, piaknya sangat prihatin atas pristiwa Waypanji tersebut. Karenanya, pihaknya tidak sependapat atas tindakan kekerasan dalam segala bentuk dan atas nama apapun.

”Seluruh komponen masyarakat, termasuk media massa harus dapat membantu mencarikan solusi, atau paling tidak menahan diri untuk tidak memperkeruh suasana,” kata mantan anggota Komisi III DPRD Lampung itu.

Dikatakannya, aparat yang berwenang harus segera melakukan pemetaan secara sungguh-sungguh untuk menemukan akar masalah yang menyebabkan terjadinya kekerasan antar warga, dan mencarikan altenatif solusi penyelesaiannya. ”Kepala daerah juga harus komunikatif terhadap seluruh warganya dan bersikap arif dan bijak menyikapi persoalan-persoalan yang di hadapi warganya.