HINDU SOPOYONO: Upacara Ngaben Langkah Efisien Penggunaan Lahan
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Sabtu

Upacara Ngaben Langkah Efisien Penggunaan Lahan




Mungkin hanya agama Hindu yang mengajarkan agar setiap umat yang meninggal supaya di ”aben”, dengan membakar mayat melalui segala tatanannya. Kadang-kadang sebagian besar dari mereka belum memahami, apa yang sedang mereka lakukan, apalagi bagi yang bukan Hindu semakin tidak mengerti mereka. Tetapi banyak pula yang menafsir dengan bermacam-macam pendapat, kadang-kadang mereka bernada memvonis sesuai dengan tafsir mereka yang sama sekali tidak beralasan, inilah yang membuat bingung semua umat manusia yang dapat membaca, mendengar, melihat langsung prosesi upacara ngaben yang dilakukan oleh umat Hindu.

Ini yang selalu menjadi pemikiran saya selaku Pedanda, sehingga muncul bermacam-macam pertanyaan di benak hati, seperti: Mengapa kita harus ngaben? Benarkah ngaben itu tindakan sadis, membakar-bakar mayat? Apakah upacara ngaben termuat dalam kitab suci veda? Banyak lagi pertanyaan sejenis itu yang muncul dalam benak hati saya, mungkin hal seperti ini juga terjadi dalam pikiran umat Hindu yang ingin mengetahui tentang prosesi upacara ngaben secara mendalam. Saya pikir hal semacam itu adalah pikiran yang sangat wajar. Karena pikiran seperti itu sangat baik dibandingkan dengan memvonis sebelum dapat mempelajari, apalagi masalah agama yang nota bena sangat sensitif.

Perlu saya kemukakan disini, bahwa saya pernah membaca sebuah buku yang ditulis oleh sahabat saya yang berasal dari India, namanya; DR.Somvir. Kalau tidak salah judul bukunya ”108 Mutiara Veda” Terbitan tahun 2001, tepatnya di halaman 107, ada tersurat yang dikutip dari: Yajurveda: 40-15. Dalam bukit itu disebutkan bahwa; ”Wahai manusia, badanmu yang dibuat oleh panca mahabhuta akhirnya menjadi abu dan atmanya akan mendapat moksa. Oleh karena itu, ingatlah nama Tuhan, yaitu AUM, ingatlah nama Tuhan AUM, dan ingatlah perbuatanmu.”

Jadi dalam kitab suci veda samhita, dalam hal ini kitab yajurveda ada tersurat bahwa setiap orang (Hindu) yang meninggal mayatnya harus dibuat menjadi abu agar atmanya mencapai moksa. Sehingga kita tidak ragu-ragu lagi terhadap pelaksanaan upacara ngaben, karena telah tersurat jelas dalam kitab suci kita, yang mana prosesi ngaben tersebut mendoakan agar atma yang mayatnya diaben mendapatkan moksa (kembali kepada Sang Pencipta). Pada intinya pengertian ngaben demikian. Namun dalam peraturan pelaksanaannya yang tersurat di dalam beberapa lontar, salah satu di antaranya adalah lontar Yamatattwa, merinci lebih jelas lagi. Sampai pada tingkatan ngaben, yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi umat (kemampuan ekonomi).

Disamping itu, yang tidak kalah penting dan menariknya adalah pelaksanaan ngaben sendiri melibatkan semua sanak saudara dan masyarakat lingkungan (banjar). Makanya pelaksanaan ngaben kelihatan meriah, kadang-kadang megah. Setelah saya dapat merenung seperti itu, hati saya belum begitu puas. Apakah ngaben itu tidak ada dampak positifnya di sekala (kenyataan)? Saya pikir itu pasti ada. Jika tidak ada, mustahil veda yang menjadi kitab suci tertua diwahyukan ke bumi ini tidak menjangkau kehidupan sekala bagi umat manusia. Di samping itu pula saya pernah mendengar ajaran agama Hindu itu mencakup sekala niskala. Nah kalau demikian apa dampak ngaben itu secara sekala?

Lama pikiran saya terjebak oleh pertanyaan seperti itu. Seperti biasa kegiatan saya sehari-hari disamping sebagai wiku ”ngwikwaning” yadnya, saya juga diberi kesempatan oleh Ida Sang Hyang Widhi, dan masyarakat umat juga memberikan kepercayaan, dimohon untuk memberikan dharmawacana. Jadi hampir setiap hari saya mengunjungi umat, dalam perjalanan kadang-kadang saya terpesona melihat pemandangan, sawah-sawah terhampar indah sekali, hutan yang rimbun, sungai-sungai meliuk-liuk seperti ular menuju pantai. Saya bersyukur diberikan hidup menjadi orang Hindu lahir di Bali yang serba indah dan mempesona.

Akhirnya kembali ingatan saya tentang ngaben, yang kadang-kadang di identikan dengan kegiatan menjual tanah. Kata-kata seperti itu telah lama saya dengar. Apakah pernyataan seperti itu ada benarnya? Mungkin segelintir umat Hindu ada yang demikian. Tapi bukan keseluruhannya, atau bukan ajaran agamanya mengajarkan menjual tanah, agar jangan terjadi salah paham. Karena setiap musim ngaben ada aja yang membilang akan menjual tanah untuk ngaben, dengan istilah membekali orang tua (mekelin anak lingsir).

Pernyataan seperti itu dikemukakan hanya bagi orang yang tidak memahami makna upacara ngaben, atau mereka yang mencari untuk mendapat kesempatan menjual tanah untuk kepentingan yang terselubung, mungkin hanya mereka sendiri yang mengetahui kepentingan itu. Sekarang kesadaran umat sudah makin meningkat sehingga hampir tidak kedengaran lagi selentingan seperti tadi. Sekarang umat yang kurang mampu, dapat melaksanakan upacara ngaben dengan cara berkelompok, yang mana tidak mengurangi makna dari ngaben itu sendiri. Menjual tanah untuk ngaben inilah sedikit dampak negatif dari tatacara pelaksanaan ngaben. Dampak ini terjadi karena kekurang mengertian umat akan makna ngaben. Sekarang saya mencoba untuk menelusuri dampak positif dari pelaksanaan ngaben itu secara sekala yang berhubungan dengan tanah (efisiensi penggunaan lahan).

Kenapa saya lebih banyak menyoroti soal tanah? Karena tanah salah satu benda yang tidak dapat diproduksi, dan kemungkinan lama-lama semakin menyempit. Apa itu disebabkan oleh alam itu sendiri, seperti terjadinya erosi, yang lain lagi karena jumlah penduduk semakin padat, juga tanah kelihatannya semakin menyempit. Nah bagaimana jadinya kalau ditambah lagi tanah yang sudah sempit dipenuhi kuburan mayat manusia. Melalui kemajuan ilmu kedokteran dan didukung oleh kemajuan teknologi, maka angka kelahiran bayi hidup sehat akan semakin tinggi, itu berarti manusia semakin banyak.

Secara logika saya, semakin banyak pula manusia akan mati. Kematian manusia memerlukan lahan untuk mengubur mayatnya. Jika kita terus ngubur saja tanpa ada upacara ngaben, pasti lama-lama tanah kuburan akan penuh, setelah penuh, pasti mencari tanah kuburan lagi untuk yang mati belakangan. Jadi tidak tertutup kemungkinan satu desa akan penuh menjadi kuburan. Nah disinilah saya lihat kehebatan veda mengajarkan umatnya untuk dapat memanfaatkan tanah seefisien mungkin. Secara dangkal saya amati seperti itu dampak positifnya secara sekala jika dilihat dari pemanfaatan lahan.

Apabila umat Hindu tidak melaksanakan upacara ngaben, mungkin berselang waktu tertentu harus memperluas kuburan dengan jalan membeli tanah. Coba bayangkan jika membeli tanah di daerah Kuta, Sanur atau di daerah Ubud. Berapa harga tanah sekarang setiap meter atau setiap arenya. Bisa jauh lebih mahal kalau dibandingkan dengan penghabisan upacara ngaben yang dilakukan oleh umat Hindu.

Itulah yang menjadi renungan saya setiap saat sekaligus sebagai suara hati saya. Semoga berguna bagi para pembaca yang budiman.