Salah satu karunia yang diberikan oleh Hyang Widhi kepada manusia
adalah rasa "Ananda atau bahagia". Ia merupakan salah satu kelengkapan
alamiah yang dapat dirasakan tanpa pengorbanan energi anatomis karena
menjadi hak mutlak bagi mereka yang bisa memahami, menghayati dan
melaksanakan dengan dharma makna terdalam yang disuratkan dalam kitab
suci Veda. Semua akan setuju bahwa setiap manusia di muka bumi ini
menginginkan predikat ini (bahagia) melekat dalam dirinya dan menjadi
tujuan akhir dari setiap usahanya.
Banyak yang tidak tepat mengartikan bahagia. Sebagian berpendapat bahwa
kebahagiaan adalah identik dengan harta. Dengan harta apapun bisa
diperoleh. Dengan harta segala yang tidak mungkin, bisa dimungkinkan.
Harta bisa membeli harga diri, pangkat dan kedudukan, martabat sosial
dan berbagai elemen kepuasan lainnya. Tapi mari kita semua merenungkan,
dengan harta bisa membeli makanan yang enak, tapi apakah bisa membeli
"rasa laparnya"? Dengan harta kita bisa menginap di hotel berbintang,
tapi apakah kita bisa membeli "rasa kantuknya"? Dengan harta kita bisa
meyewa bodyguard dan aman dari gangguan kejahatan, tapi apakah kita bisa
membeli "rasa tentramnya"? Denga harta kita bisa mendapat seorang istri
cantik, tapi apakah dengan harta kita bisa memperoleh "cintanya yang
tulus"? Kalau jawabannya meragukan, itu semua bukan difinisi yang benar.
Ada pula sebagian orang berpendapat bahwa bahagia identik dengan
"kepuasan", itupun kurang tepat. Kepuasan orang bergaris limit dan
temporer. Sedangkan bahagia sebaliknya unlimited tak bergaris ujung.
dibagikan malah kadarnya bertambah dan berpahala.
Hyang Widhi menganugerahi manusia semua rasa sebagai pelengkap
kehidupan. Keseluruhannya ditujukan untuk membahagiakan umatnya dalam
perjuangannya di dharmaksetre (ladang dharma) mengemban misi yang hakiki
pada kesempatan hidup fana di dunia ini.
Biasanya seorang ayah adalah nahkoda yang mengarahkan bahtera,
mengusahakan bahan bakar untuk kelangsungan perjalanan, memberi motivasi
kepada penumpangnya, langkah apa untuk menghindari tabrakan fatal
dengan karang. Karang itu bisa berupa krisis moneter dan resesi ekonomi,
erosi pendidikan, pengaruh budaya asing yang negatif, pornografi,
tindakan kekerasan dan kebrutalan, hilangnya semangat juang dan hidup
kekeluargaan, egoisme dan fanatisme golongan, penyalahgunaan kekuasaan,
hukum dan keadilan, keliru menerapkan kemajuan inovasi teknologi.
Seorang Ibu adalah mengatur dan merencanakan biaya seluruh perjalanan,
penyeleksi dan perifikator perolehan materi Bapak, apakah halal untuk
makanan keluarga atau tidak. Apakah di dalamnya terkandung hak-hak orang
lain atau sudah bersih?
Selain tugas di atas, Ibupun dituntut untuk mempunyai kepandaian setaraf
Bapak. Tindakan persiapan untuk menghadapi setiap keadaan darurat
apabila Sang Nahkoda berhalangan. Peredam ombak emosi dan navigator arah
bahtera supaya tetap lurus dan selamat sampai berlabuh di pantai
kebahagiaan yang abadi. Selaian tugas di atas Ibupun harus berwawasan
tambahan dan ekstra hati-hati menjaga dan mengawasi generasi penerusnya
ialah putra-putrinya.
Berilah mereka makanan dan pupuk kehidupan yang berasal dari perolehan
Sang Ayah secara halal. Suapilah mereka dengan makanan sejuknya, syukur
akibat karunia Brahman. Gunakan potensi protein untuk mengubah nasib
dirinya dalam memaksimasikan pemanfaatan peluang yang diberikan Brahman
ke seluruh umatNya dalam memperoleh pertambahan nilai kehidupan.
Beritahukanlah kepada mereka, jalanilah kehidupan ini dengan penuh
kajian dan pertimbangan. Gunakan semua fasilitas rasa dalam artian
positif. Rasa tidak puas bukan sinonim dari "Tamak" tetapi jadikanlah
predikat ini untuk kontek mencari ilmu dunia dan moksa atau peroleh
prestasi yang menguntungkan umat. Nurani tidak tumbuh subur bukan
sinonim dari tidak peka atau tidak berperasaan, tapi tidak mempedulikan
cemoohan atau perasaan yang merugikan. Perasaan iri hati terhadap
kelebihan orang lain, harus diterjemahkan iri terhadap prestasi orang
lain dan kemudian memacu diri untuk bisa melebihinya. Iri dan panas hati
terhadap prestasi orang lain dalam beramal dan kemudian kita
mengikutinya dengan ikhlas dan melebihinya, itu suatu perbuatan positif.
Menghukum bukan berarti membalas, tetapi mendidik supaya merasa kapok.
Dengan pemahaman ini,setiap orang tua diharapkan dapat menjadi panutan
untuk mewujudkan keluarga sukhinah. Karena pada prinsipnya setiap orang
tua harus mampu menjadikan dirinya seorang Brahmana (pusat spiritual) ,
seorang Ksatrya (pelindung), seorang Vesya (sumber penghidupan) dan
sebagai seorang Sudra (melayani) semua anak-anaknya dengan kasih sayang
dan cinta yang tulus.
|