HINDU SOPOYONO: Membangun Keluarga Sukhinah
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Senin

Membangun Keluarga Sukhinah


Salah satu karunia yang diberikan oleh Hyang Widhi kepada manusia adalah rasa "Ananda atau bahagia". Ia merupakan salah satu kelengkapan alamiah yang dapat dirasakan tanpa pengorbanan energi anatomis karena menjadi hak mutlak bagi mereka yang bisa memahami, menghayati dan melaksanakan dengan dharma makna terdalam yang disuratkan dalam kitab suci Veda. Semua akan setuju bahwa setiap manusia di muka bumi ini menginginkan predikat ini (bahagia) melekat dalam dirinya dan menjadi tujuan akhir dari setiap usahanya.

Banyak yang tidak tepat mengartikan bahagia. Sebagian berpendapat bahwa kebahagiaan adalah identik dengan harta. Dengan harta apapun bisa diperoleh. Dengan harta segala yang tidak mungkin, bisa dimungkinkan. Harta bisa membeli harga diri, pangkat dan kedudukan, martabat sosial dan berbagai elemen kepuasan lainnya. Tapi mari kita semua merenungkan, dengan harta bisa membeli makanan yang enak, tapi apakah bisa membeli "rasa laparnya"? Dengan harta kita bisa menginap di hotel berbintang, tapi apakah kita bisa membeli "rasa kantuknya"? Dengan harta kita bisa meyewa bodyguard dan aman dari gangguan kejahatan, tapi apakah kita bisa membeli "rasa tentramnya"? Denga harta kita bisa mendapat seorang istri cantik, tapi apakah dengan harta kita bisa memperoleh "cintanya yang tulus"? Kalau jawabannya meragukan, itu semua bukan difinisi yang benar.

Ada pula sebagian orang berpendapat bahwa bahagia identik dengan "kepuasan", itupun kurang tepat. Kepuasan orang bergaris limit dan temporer. Sedangkan bahagia sebaliknya unlimited tak bergaris ujung. dibagikan malah kadarnya bertambah dan berpahala.


Hyang Widhi menganugerahi manusia semua rasa sebagai pelengkap kehidupan. Keseluruhannya ditujukan untuk membahagiakan umatnya dalam perjuangannya di dharmaksetre (ladang dharma) mengemban misi yang hakiki pada kesempatan hidup fana di dunia ini.

Biasanya seorang ayah adalah nahkoda yang mengarahkan bahtera, mengusahakan bahan bakar untuk kelangsungan perjalanan, memberi motivasi kepada penumpangnya, langkah apa untuk menghindari tabrakan fatal dengan karang. Karang itu bisa berupa krisis moneter dan resesi ekonomi, erosi pendidikan, pengaruh budaya asing yang negatif, pornografi, tindakan kekerasan dan kebrutalan, hilangnya semangat juang dan hidup kekeluargaan, egoisme dan fanatisme golongan, penyalahgunaan kekuasaan, hukum dan keadilan, keliru menerapkan kemajuan inovasi teknologi.


Seorang Ibu adalah mengatur dan merencanakan biaya seluruh perjalanan, penyeleksi dan perifikator perolehan materi Bapak, apakah halal untuk makanan keluarga atau tidak. Apakah di dalamnya terkandung hak-hak orang lain atau sudah bersih?

Selain tugas di atas, Ibupun dituntut untuk mempunyai kepandaian setaraf Bapak. Tindakan persiapan untuk menghadapi setiap keadaan darurat apabila Sang Nahkoda berhalangan. Peredam ombak emosi dan navigator arah bahtera supaya tetap lurus dan selamat sampai berlabuh di pantai kebahagiaan yang abadi. Selaian tugas di atas Ibupun harus berwawasan tambahan dan ekstra hati-hati menjaga dan mengawasi generasi penerusnya ialah putra-putrinya.

Berilah mereka makanan dan pupuk kehidupan yang berasal dari perolehan Sang Ayah secara halal. Suapilah mereka dengan makanan sejuknya, syukur akibat karunia Brahman. Gunakan potensi protein untuk mengubah nasib dirinya dalam memaksimasikan pemanfaatan peluang yang diberikan Brahman ke seluruh umatNya dalam memperoleh pertambahan nilai kehidupan.

Beritahukanlah kepada mereka, jalanilah kehidupan ini dengan penuh kajian dan pertimbangan. Gunakan semua fasilitas rasa dalam artian positif. Rasa tidak puas bukan sinonim dari "Tamak" tetapi jadikanlah predikat ini untuk kontek mencari ilmu dunia dan moksa atau peroleh prestasi yang menguntungkan umat. Nurani tidak tumbuh subur bukan sinonim dari tidak peka atau tidak berperasaan, tapi tidak mempedulikan cemoohan atau perasaan yang merugikan. Perasaan iri hati terhadap kelebihan orang lain, harus diterjemahkan iri terhadap prestasi orang lain dan kemudian memacu diri untuk bisa melebihinya. Iri dan panas hati terhadap prestasi orang lain dalam beramal dan kemudian kita mengikutinya dengan ikhlas dan melebihinya, itu suatu perbuatan positif. Menghukum bukan berarti membalas, tetapi mendidik supaya merasa kapok.

Dengan pemahaman ini,setiap orang tua diharapkan dapat menjadi panutan untuk mewujudkan keluarga sukhinah. Karena pada prinsipnya setiap orang tua harus mampu menjadikan dirinya seorang Brahmana (pusat spiritual) , seorang Ksatrya (pelindung), seorang Vesya (sumber penghidupan) dan sebagai seorang Sudra (melayani) semua anak-anaknya dengan kasih sayang dan cinta yang tulus.



Source :   Hindu Raditya