HINDU SOPOYONO: Banten Saiban
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Kamis

Banten Saiban

Tradisi mebanten atau memberikan sesaji merupakan aktivitas orang Bali hampir setiap harinya. Setiap setelah memasak, pasti orang Bali yang beragama Hindu memberikan hasil tanakan paling atas untuk dipersembahkan yang lebih dikenal sebagai banten saiban atau 'jotan'. tetapi makna di balik itu tentunya  hanya beberapa orang, terlebih hanya segelintir orang tahu.


Banten saiban, merupakan sesajen kecil setiap habis memasakyang dipersembahkan oleh masyarakat Hindu Bali setiap hari. Biasanya banten saiban dihaturkan di atas daun pisang berbentuk persegi sebesar kurang lebih 5 cm. Lauknya biasanya disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu. Biasanya dihaturkan di tempat memasak, batu pengasah, talenan, sapu, lesung dengan alunya, tempayan atau tempat air.

Sesuai kepercayaan orang Hindu Bali, alat-alat tersebut di atas memiliki jasa yang besar dalam kehidupan sehari-hari orang Hindu Bali. Selain itu juga banten saiban dihaturkan pada pelinggih atau tugu yang terletak di pekarangan rumah, ini dihaturkan kepada dewa-dewa atau manifestasi dari Tuhan dan bhuta kala.

Biasanya dihaturkan di tempat beras, pelangkiran, halaman rumah atau natah, merajan, dan di lebuh atau jalan.

Menghaturkan banten saiban (mesaiban) berarti menerapkan salah satu nilai estetika Hindu yakni mengajarkan umatnya untuk tidak mementingkan diri sendiri namun senantiasa mendahulukan kepentingan luar diri. Proses inilah yang merupakan suatu kerjasama atau hubungan yang harmonis baik secara sekala (alam nyata) dan niskala (tak kasat mata) sehingga semuanya bisa menikmati makanan.

Tetapi yang menjadi perhatian sekarang, adalah terkadang Banten Saiban yang dihaturkan tidak layak makan, seperti sahur (parutan kelapa yang digoreng)  yang tidak laik konsumsi, bukan hasil masakan yang dihasilkan pagi harinya. Bukankah prinsip makan dari orang Bali adalah 'for the God, from the God'  atau dihaturkan terlebih dahulu kepada Tuhan, baru setelah itu dinikmati secara bersama-sama. Berarti apabila kita menghaturkan yang tidak layak makan  atau yang jelek kepada Tuhan, berarti kita mendapatkan atau menikmati yang tidak baik pula.

Tentunya ini merupakan sesuatu yang tidak boleh dipandang sebelah mata, karena nantinya ini akan diwariskan secara terus menerus, dan secara tidak sadar  orang Bali mewariskan hal yang salah kepada penerusnya. Hubungan yang harmonis terhadap Tuhan, dalam hal ini menghaturkan banten saiban tentunya secara  terus menerus harus ditanamkan dalam diri masyarakat Bali dan penerusnya. Tentunya dengan pendidikan nilai budi pekerti dan nilai-nilai luhur orang Bali, harus terus digaungkan sehingga tidak terjadi degradasi penurunan budaya di masyarakat Bali nantinya.