Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain,
agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu
malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian
terdistorsi sehingga menjadi penyebab
perselisihan dan pembantaian”
Mahatma Gandhi, 2004:170
Pendahuluan
Tanggal
1 Oktober 2005 ketika bangsa Indonesia memperingati hari Kesaktian
Pancasila dan dunia memperingati hari lahirnya Mahatma Gandhi sebagai
bapak anti kekerasan, pada hari yang sama dunia dikejutkan lagi dengan
meledaknya bom bunuh diri di Kuta dan Jimbaran, Bali. Peristiwa ini
menjadi keperihatinan semua orang, karena terjadinya pengkhianatan
terhadap nilai kemanusiaan dan kekerasan di bumi Nusantara yang
terkenal masyarakatnya taat beragama, dan cinta dengan perdamaian.
Peledakan bom tersebut mengakibatkan citra bangsa Indonesia di mata
dunia semakin terpuruk. Syukur, tidak begitu lama setelah peristiwa bom
Bali 2, gembong teroris internasional, Dr. Azahari dapat dibunuh di
Batu, Malang, Jawa Timur dan anak buahnya sebagian sudah ditangkap dan
kini dalam proses pemeriksaan. Namun demikian, satu pentolan teroris
lagi yakni Nurdin M.Top masih dalam perburuan dan semoga tidak terlalu
lama, yang bersangkutan dapat diringkus dan kekuatannya dapat
dimusnahkan.
Bila terorisme tidak dapat diatasi di Indonesia,
bangsa ini akan terjerembab lebih dalam ke dalam krisis
multidimensional. Pembangunan di bidang ekonomi akan semakin sulit
dilaksanakan dan penderitaan rakyat akan semakin berat. Hal ini
disebabkan para investor maupun wisatawan asing tidak akan datang ke
Indonesia. Indonesia disebut sebagai sarang teroris akan menjadi stigma
yang sulit untuk dihapuskan. Semua umat beragama yang memiliki pikiran
yang jernih tidak akan menerima bila agama yang dianutnya itu dikaitkan
dengan teroris, walaupun teroris sendiri menganggap perbuatannya sebagai
salah satu bentuk ibadah untuk menegakkan ajaran agama yang dianutnya.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana tokoh-tokoh agama membina umat
beragama untuk tidak sampai memahami agama yang dianutnya itu dijadikan
motivasi untuk melakukan perbuatan anarkis dan bertindak sebagai
teroris. Tulisan singkat ini mencoba menganalisa agama, radikalisme dan
terorisme dari perspektif agama Hindu.
Agama Universal dan Usaha Mencari Titik Temu Agama-Agama
Semua
agama mengklaim atau diklaim oleh umatnya sebagai agama universal, dan
memang ajaran yang sifatnya universal terdapat pada semua agama.
Walaupun agama itu universal, tetapi ada pula ajaran yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul
Ulama K. H. A. Hasyim Muzadi dalam Temu Nasional Pemuka Umat Beragama
Indonesia, tanggal 13-14 Januari 2003 bertempat di Hotel Sahid,
Makassar, Sulawesi Selatan menyatakan, apa-apa yang sama dalam
masing-masing agama jangan dibeda-bedakan dan apa yang berbeda-beda
dalam agama masing-masing jangan disama-samakan. Pendapat ini logis,
karena memandang sesuatu dari sudut yang berbeda tentu tidak akan
menemukan titik persamaan. Perbedaan agama akan semakin mendalam bila
dilihat dari ajaran atau akidah masing-masing, tetapi bila dikaitkan
dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan (human
values) akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua orang memiliki
pandangan yang sama bahwa semua agama adalah ciptaan-Nya dan penganut
masing-masing agama itu dituntut untuk mengamalkannya dengan
sebaik-baiknya maka kerukunan umat beragama, kedamaian, dan kesejahtraan
hidup bersama akan dapat diwujudkan. Untuk dapat memahami bahwa semua
agama adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa diperlukan studi yang mendalam
terhadap masing-masing agama, dan studi semacam itu telah dilakukan oleh
Mahatma Gandhi (Ellsberg, 2004:166) yang menyatakan:
“Aku tidak
ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu
yang terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam
rumahku sebebas mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang
seperti penjara”
Dengan adanya pandangan yang terbuka terhadap
agama-agama, maka kesadaran bahwa agama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa
akan menumbuhkembangkan saling pengertian dan kerukunan umat beragama.
Tentang hal ini Sarvepali Radhakrishnan (2002:35) menyatakan.
“Dengan
mengingat kebenaran yang agung memakai baju dengan berbagai warna dan
berbicara dengan lidah-lidah yang lain-lain, Hinduisme mengembangkan
sikap kedermawanan yang menyeluruh dan sama sekali bukan keimanan
fanatik terhadap ajaran yang kaku”.
Pandangan Gandhi ataupun
Radhakrishnan tersebut kiranya mendapat inspirasi dari kitab suci Veda
dan Bhagavadgita yang menyatakan,
“Hendaknya mereka yang memeluk
agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan bahasa yang berbeda-beda
pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun bagaikan satu
keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada
manusia, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat
manusia” (Atharvaveda XII.1.45).
“Dengan jalan atau cara apa pun
orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku memenuhi keinginannya, Wahai
Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku”
(Bhagavadgita IV.11).
Agama-agama merupakan berbagai jalan yang
bertemu pada satu titik yang sama. Apa yang menjadi masalah bila kita
mengambil jalan yang berbeda sepanjang kita mencapai tujuan yang sama?
Dalam kenyataan jumlah agama adalah sebanyak jumlah manusia yang ada di
dunia ini. Demikian Mahatma Gandhi dalam Hind Swaraj menyatakan di tahun
1946 (Prabhu: 1996: 33). Pandangan Mahatma Gandhi sejalan dengan
pandangan seorang Sufi kontemporer Frithjof Schuon (2003:11) dalam
bukunya Transcendent Unity of Religions, dengan kata pengantar oleh
Huston Smith dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Mencari
Titik Temu Agama-Agama menggambarkan semua agama menuju Tuhan Yang Maha
Esa baik dalam tataran esoteric maupun exoteric, seperti berbagai jalan
menuju ke satu puncak gunung.
Lebih jauh tentang agama sebagai
anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tafsir terhadap agama tersebut dilakukan
oleh manusia dengan berbagai keterbatasannya, dinyatakan oleh Mahatma
Gandhi (Prabhu, 1996:35) sebagai berikut.
“Semua agama adalah
anugrah Tuhan Yang Maha Esa tetapi bercampur dengan sifat manusia yang
tidak sempurna karena agama itu memakai sarana manusia. Agama sebagai
anugrah Tuhan Yang Maha Esa di luar jangkauan bahasa manusia. Manusia
yang tidak sempurna menyampaikan agama itu menurut kemampuan bahasa
mereka, dan kata-kata mereka ditafsirkan lagi oleh manusia yang tidak
sempurna juga. Tafsiran siapa yang harus dipegang sebagai tafsiran yang
tepat. Setiap orang adalah benar dari sudut pandangannya sendiri, namun
bukanlah mustahil juga bahwa setiap orang adalah salah. Maka dari itu
dibutuhkan toleransi yang bukan berarti acuh terhadap kepercayaannya
sendiri, melainkan dibutuhkan toleransi yang lebih mengandalkan akal
sehat dan kasih sayang yang lebih murni. Toleransi akan memberikan kita
pandangan rohani yang jauh dari sikap fanatisme seperti jauhnya jarak
antar Kutub Utara dengan Kutub Selatan. Pengetahuan yang benar tentang
agama meruntuhkan dinding-dinding pemisah antar agama yang satu dengan
agama yang lain dan sekaligus memupuk toleransi. Pemupukan toleransi
terhadap agama lain akan memberikan kepada kita pemahaman yang lebih
mendalam tentang agama kita sendiri”
Dalam kenyataannya, tidak
semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan
sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan
fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu
komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang
memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang
oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan
golongan tertentu sehingga akhirnya akan membatasi setiap gerak dan
penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan
benturan kepentingan kecil di satu pihak dengan kepentingan universal di
pihak lainnya. Dalam kejamakan kepentingan dalam satu dunia yang sedang
dilanda kebingungan, mudah sekali setiap pribadi yang tidak memiliki
cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru
tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran
yang akan menimpanya.
Seperti telah disebutkan di atas, dalam
hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan, nilai-nilai manusia (human
values) atau dalam rangka mewujudkan kemakmuran bersama, banyak hal yang
merupakan titik temu dari agama-agama. Titik temu tersebut antara lain:
untuk hidup harmonis dengan sesama umat manusia, untuk menghormati
ciptaan-Nya, saling tolong menolong, mewujudkan kerukunan hidup,
toleransi dan sebagainya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan intra,
antar, dan antara umat beragama ini, dikutipkan pernyataan Svami
Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen Agama-Agama sedunia, seratus
dua belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 27 September 1893 di
Chicago, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal
akhir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini.
Pidato yang mengemparkan dunia, dan memperoleh penghargaan yang tinggi
seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An orator by
divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion”
(Walker,1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai
Singh Yadav (1993), dan diungkapkan kembali oleh I Gusti Ngurah Bagus
(1993), sebagai berikut.
“Telah banyak dibicarakan tentang
dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan
teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini
akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama terhadap
penghancuran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan: “Saudara
harapan anda itu hanyalah impian yang mustahil”.
“Jika seseorang
secara eksklusif memimpikan kelangsungan agamanya dan kehancuran agama
lainnya, saya menaruh kasihan padanya dari lubuk hati yang paling dalam,
dan menunjukkan bahwa melalui spanduk setiap agama akan ditulis,
walaupun sedikit ditentang, “Saling menolong dan tidak bermusuhan,
berbaur tidak akan menghancurkan, harmonis dan damai serta tidak saling
berselisih” (Mumukshananda, 1992:24).
Berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka pernyataan Mahatma Gandhi pada bagian awal dari tulisan
ini kiranya dapat diterima dan bila terjadi distorsi, bahkan pembantaian
serta terorisme, bukanlah kesalahan ajaran agama itu melainkan adalah
pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Lebih jauh tentang
pengembangan agama (misionaris) (Radhakrishnan, 2002:36) menyatakan
bahwa Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia dari agama
misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang
diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang
untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai
panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang
diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan.
Tentang
misionaris yang mengarahkan seseorang untuk konversi agama, Mahatma
Gandhi seperti dinyatakan oleh Robert Ellsberg (2004:168) berikut.
Pandangan Gandhi terhadap konversi dan perubahan agama harus dipahami
dalam konteks politisasi yang berkaitan dengan perubahan-perubahan agama
di India “Tidak mungkin bagiku untuk berdamai dengan diriku sendiri
terhadap gagasan perubahan keyakinan apa pun bentuknya yang terjadi di
India dan di mana pun saat ini,” tulisnya. Misi-misi Kristen di India
datang bersamaan dengan kekuasaan eksploitatif dari kerajaan. Sebelum
orang-orang Inggris, serangkaian kerajaan Muslim India membawa misi-misi
Islamnya. Di tahun 1920-an ada usaha-usaha Hindu, dipelopori oleh
Pendeta Arya Samaj untuk mengubah kembali agama, atau dengan kata lain
memurnikan (suddhi) yang sebelumnya telah berubah agamanya menjadi
Islam, bahkan pada beberapa abad sebelumnya. Maka diskusi-diskusi Gandhi
tentang konversi ditujukan untuk menentang semua bentuk perubahanan
agama. “Aku menentang pengubahan agama, sekali pun dikenal sebagai
suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat
Kristen. Perubahan keyakinan adalah proses hati yang hanya diketahui
oleh Tuhan”. Bagi Gandhi, perubahan agama juga dilandasi pada apa yang
disebutnya sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama
terhadap agama lain. “Tidaklah masuk di akal, bahwa seseorang akan
menjadi baik atau memperoleh keselamatan cukup hanya dengan memeluk
suatu agama Hindu, Kristen, atau Islam. Kemurnian karakter dan
keselamatan tergantung pada kemurnian hati”. Dan katanya lagi, “Akan
menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan,
jika Anda percaya bahwa agama Anda superior terhadap agama lain dan
bahwa Anda akan dibenarkan ketika Anda menginginkan orang lain berpindah
mengikuti keyakinan Anda”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
agama Hindu sangat menekankan kemurnian atau kesucian hati sebagai wujud
transformasi diri, karena sesungguhnya akhir dari pendidikan agama
adalah perubahan karakter, dari karakter manusia biasa menuju karakter
manusia devata, yakni manusia berkeperibadian mulia (dari manava menuju
madhava). Usaha untuk menyucikan diri merupakan langkah menuju kesatuan
dengan-Nya, yang berarti juga menumbuhkan kesadaran persaudaraan sejati
terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, karena dalam pandangan kesatuan ini
(advaita) semua makhluk adalah bersaudara (vasudhaivakutumbhakam).
Radikalisme dan Terorisme
Radikalisme
agama menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama satu
dekade ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme,
kekerasan dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang
dipeluk oleh terorisme. Dalam hal ini Frans Magnis Suseno (Jawa Pos,
2002:1) menyatakan, “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris
memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut
prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya
bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Menurut
Ermaya (2004:1) radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam
kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan
prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu
konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan
politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya
peraturan-peraturan /ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan
sosial yang sedang berlaku. Ada juga menyatakan bahwa radikalisme adalah
suatu paham liberalisme yang sangat maju (Far Advanced Liberalism) dan
ada pula yang menginterpretasikan radikalisme sama dengan ekstremisme
/fundamentalisme. Pendeta Djaka Sutapa (2004:1) menyatakan bahwa
radikalisme agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya
untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang
ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi “radikalisme” memang dapat
saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam
antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di
satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu. Adanya
pertentangan yang tajam itu menyebabkan konsep radikalisme selalu
dikaitkan dengan sikap dan tindakan yang radikal, yang kemudian
dikonotasikan dengan kekerasan secara fisik. Istilah radikalisme berasal
dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan
fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan
dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke
akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan
dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari
suatu ajaran.
Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme
dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit
tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3)
kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai
satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial
atau irihati atas keberhasilan orang lain. Prof. Dr. H. Afif Muhammad,
MA (2004:25) menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal (dalam
Islam) akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi,
dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan
sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor
tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan
kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan
ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan
yang demikian cepat terjadi.
Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Di dalam Hindu
munculnya radikalisme tampak sebagai respon ketika Mogul Emperor
menaklukkan India, di samping juga ketika penjajahan Inggris menguasai
India yang diikuti oleh konversi dari Hindu ke Kristen yang dilakukan
oleh para misionaris saat itu. Respon itu antara lain dalam gerakan
radikal adalah munculnya Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak (RSS) dan
sebagainya. Di samping gerakan yang bersifat radikal, sesuai dengan
karakter pemimpinnya muncul usaha untuk mengantisipasi gerakan konversi
dengan lahirnya organisasi keagamaan yang satu di antaranya populer
sampai saat ini adalah Arya Samaj (himpunan masyarakat mulia) yang
didirikan oleh Svami Dayananda Sarasvati (1875) dengan pengikutnya yang
tersebar di seluruh pelosok India. Svami Dayananda Sarasvati di kalangan
umat Hindu dipahami juga sebagai seorang yang radikal, karena
mentasbihkan mereka yang termarginalisasi (kaum Paria yang menurut
Mahatma Gandhi disebut Harijan/pengikut atau putra-putra Tuhan) dan
sudah pernah beralih agama kembali menjadi Hindu dan bagi mereka yang
mau mempelajari kitab suci Veda dan melaksanakan ritual Veda (seperti
Agnihotra) diinisiasi menjadi Brahmana (dengan memberi kalungan benang
Upavita). Svami Dayananda Sarasvati melakukan terobosan dengan
mengembalikan kepada ajaran suci Veda tentang penggolongan masyarakat
atas tugas dan kewajibannya yang disebut varna (pilihan profesi) dan
bukan istilah kasta sebagai bentuk penyimpangan varna tersebut.
Pembagian masyarakat profesional (anatomi masyarakat) ini sifatnya abadi
dan tidak berdasarkan kelahiran atau diwariskan secara turun temurun,
melainkan atas dasar bakat (guna) dan pekerjaannya (karma). Tindakan
Svami Dayananda Sarasvati ini ditentang oleh kelompok ortodok yang hanya
berpegangan kepada tradisi dan bertentangan dengan kitab suci.
Radikalismenya Svami Dayananda Sarasvati tidak sampai berbentuk anarkis,
apalagi sampai mengarah kepada perbuatan teroris.
Tokoh
radikal lainnya adalah Mahatma Gandhi, yakni seorang yang sangat radikal
dalam tata pikir, namun santun dalam tindakan yang pemahamannya
terhadap agama Hindu sangat mendalam dan mampu merealisasikannya. Bahkan
R.C. Zaehner (1993:206) mempersamakan Gandhi dengan Yudhisthira. Dilema
Gandhi sama dengan dilema Yudhisthira. Mahatma Gandhi sangat
menekankan Ahimsa (nir kekerasan). Tokoh-tokoh lainnya sebagai pembaharu
Hindu adalah Aurobindo, Vivekananda dan lain-lain yang memberi
pencerahan tidak hanya kepada umat Hindu, tetapi juga umat manusia di
seluruh dunia.
Seperti telah disebutkan di atas, beberapa
pembaharu Hindu dipandang juga sebagai seorang radikal dalam arti
radikal dalam tata pikir dan lembut dalam tata laku. Walaupun demikian,
radikalisme yang berujung pada anarkisme dan terorisme terjadi juga di
kalangan umat Hindu di India, yakni terbunuhnya Mahatma Gandhi yang
ditembak oleh orang dari kelompok Rashtriya Sevayam Sevak (RSS),
demikian pula ditembaknya Indira Gandhi oleh pasukan pengawalnya dari
pengikut Sikh, dan terakhir terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh
diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi
juga di kalangan umat Hindu, walaupun motivasinya tidak murni dan
bahkan tidak terkait dengan ajaran agama Hindu.
Pengertian atau
batasan tentang teror dan teroris diuraikan di dalam surat kabar Kompas
15 Oktober 2002, tiga hari setelah bom Bali 1 (Wahid, et.al.,2004:22)
sebagai berikut.Kata ‘teroris’ (pelaku) dan ‘terorisme’ (aksi) berasal
dari bahasa Latin ‘terrere’ yang berarti membuat gemetar atau
menggetarkan. Kata ‘teror’ juga berarti bisa menimbulkan kengerian.
Tentu saja kengerian di hati dan dalam pikiran korbannya. Pada dasarnya
istilah ‘terorisme’ merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang
sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan
penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.
Lebih jauh di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinyatakan bahwa,
Terorisme
adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk
menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan bagi
badan, nyawa, moral, harta benda, dan kemerdekaan orang atau menimbulkan
kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, kebutuhan pokok rakyat, kebudayaan, pendidikan, perekonomian,
teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau fasilitas internasional.
Terorisme
di Indonesia sering dan selalu mengatas namakan agama seperti
pengakuan pelaku bom Bali 1 dan 2 yang sudah sangat banyak memakan
korban yang memilukan semua orang. Pandit Vamadeva Shastri (ketika belum
diinisiasi bernama Dr. David Frawley) seorang intelektual Hindu yang
bermukim di Amerika Serikat, dalam tulisannya Bagaimana Hindu Menjawab
Terorisme? Yoga, Ahimsa dan Serangan Teroris (2005: 52) menyatakan,
Jalan
Ksatriya sebagaimana diamanatkan di dalam kitab suci Bhagavagita yang
mengajarkan aspek spiritual dari Yoga secara sangat rinci, diajarkan di
medan pertempuran, selama perang saudara. Sementara beberapa orang akan
mengatakan bahwa peperangan luar ini (peperangan jasmani, outer battle)
adalah sebuah metaphora bagi satu perjuangan di dalam (pergulatan
batin), yang benar bahwa peperangan luar juga sungguh-sungguh terjadi
adalah jelas dan banyak catatan bukti-bukti sejarah India Kuno. Krishna,
sang mahaguru Yoga mendorong muridnya Arjuna, seorang pejuang besar
untuk bertempur, sekali pun Arjuna enggan dan ingin mengikuti jalan non
kekerasan. Mengapa Krishna mendorong Arjuna untuk bertempur? Ada dua
hal yang utama dari Ahimsa di dalam tradisi Yoga.Yang pertama adalah
Ahimsa sebagai satu prinsip spiritual, yang diikuti oleh para yogi,
bikhu, sadhu, dan sannyasi yang meliputi non kekerasan pada semua level.
Yang kedua adalah Ahimsa sebagai salah satu prinsip politik, Ahimsa
dari para pejuang atau Ksatriya, yang diikuti oleh mereka yang
memerintah dan melindungi masyarakat, yang diijinkan untuk melawan
kekuatan-kekuatan jahat di dunia ini, termasuk melindungi orang-orang
spiritual yang sering tidak dapat membela diri mereka sendiri dan
menjadi target manusia keduniawian. Krishna menganjurkan Ksatriya
Ahimsa ini kepada Arjuna bagi kepentingan generasi yang akan datang,
seperti Rishi Visvamitra yang mengajar Rama dan Laksamana untuk
menghancurkan kekuatan-kekuatan jahat yang mengganggu dan membunuh
orang-orang spiritual. Hal ini merupakan tradisi India yang sangat tua.
Lebih
jauh Pandit Vamadeva Shastri (2005:54) menambahkan, sementara sebuah
jawaban keras kepada terorisme mungkin perlu dalam jangka pendek, satu
reorientasi dharma yang lebih besar dari masyarakat kita adalah
satu-satunya solusi jangka panjang. Ini mensyaratkan tidak hanya
mengalahkan teroris, tetapi mengadopsi satu cara hidup yang lebih
bertanggung jawab dan kembali kepada kepada satu keselarasan yang lebih
besar dengan alam maupun kemanusiaan. Itu berarti menyelesaikan
masalah-masalah global yang lebih besar yang meliputi tidak hanya
terorisme dan fundamentalisme agama, tetapi kemiskinan, kekurangan
pendidikan, kelebihan penduduk, penghancuran lingkungan alam.
Peningkatan Kualitas Pendidikan Nasional
Menanggulangi
radikalisme dan teriorisme mengatas namakan agama memerlukan perhatian
semua komponen nasional. Dengan disahkan Undang-Undang tentang Guru dan
Dosen tanggal 6 Desember 2005 lalu diharapkan mutu pendidikan
benar-benar dapat ditingkatkan, setidaknya mengejar
ketertinggalan dibandingkan
negara-negara ASEAN seperti Vietnam,
yang baru saja melepaskan diri dari pergolakan perang yang
berkepanjangan. Belum lagi ketinggalan kita dengan negara tetangga
terdekat Malaysia dan Singapura. Memang timbul pertanyaan, kenapa di
Malaysia terorisme dapat dicegah dengan baik, sementara di Indonesia hal
itu sangat sulit dilakukan dan otak terorisme di Indonesia adalah warga
negara Malaysia. Gembong terorisme ini telah mengobok-obok negara,
mengapa hal ini sulit diatasi? Pertanyaan ini menjadi bahan renungan
lebih jauh, dan menurut hemat kami, jawabannya yang mendasar adalah
meningkatkan kualitas pendidikan nasional dalam arti yang
sesungguhnya. Pendidikan agama yang merupakan bagian yang integral
dengan pendidikan nasional hendaknya dapat mengembangkan pendidikan
agama yang inklusif, yang menghargai perbedaan, yang menjunjung tinggi
kebenaran dari masing-masing agama, mengukuhkan toleransi dan kerukunan
hidup antar sesama umat beragama dalam rangka merekatkan persatuan dan
kesatuan bangsa. Dalam hubungan ini, dari perspektif Hindu diketengahkan
model pendidikan agama yang inklusif yang diajarkan oleh Sri Sathya
Narayana (23-11-2003), seorang yogi besar dewasa ini, seorang guru
spiritual yang menekankan kembali betapa pentingnya 5 (lima) dasar
nilai-nilai kemanusiaan, yang terdiri dari:
1)Satya: kebenaran (truth), seseorang hendaknya berpegang teguh kepada ajaran agama yang dianutnya.
2)Dharma: tindakan yang benar (right conduct), seseorang hendaknya senantiasa berbuat baik dan benar.
3)Prema:
cinta kasih (love), seseorang hendaknya senantiasa mengembangkan cinta
kasih kepada semua makhluk dan alam semesta ciptaan-Nya.
4)Shanti:
kedamaian (peace), seseorang hendaknya dapat mewujudkan kedamaian hati
dan membuat suasana sejuk terhadap lingkungannya.
5)Ahimsa: tanpa
kekerasan (non violence), seseorang hendaknya tidak melakukan tindakan
kekerasan, tidak menyiksa apalagi sampai membunuh seseorang.
Lebih
jauh dalam pergaulan hidup bermasyarakat, seseorang hendaknya dapat
merealisasikan/mengaktualisasikan 10 (sepuluh) prinsip hidup) yaitu.
1)Cinta
dan bhakti kepada tanah air, tumpah darah tempat kita dilahirkan,
jangan membenci atau merugikan tanah air sendiri dan tanah air orang
lain.
2)Hormati semua agama dengan rasa hormat yang sama, setiap agama adalah jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa.
3)Cintai semua orang tanpa membeda-bedakan, karena semua manusia adalah satu komunitas yang tunggal.
4)Pelihara
kebersihan dan ketentraman rumah tangga dan lingkungan, maka kesehatan
dan kebahagiaan masyarakat akan dapat diwujudnyatakan.
5)Jadilah
dermawan, jangan buat sesuatu yang menjadikan seseorang menjadi
pengemis. Bantulah orang yang memerlukan sesuai kebutuhan dan menjadikan
mereka mandiri.
6)Jangan menggoda seseorang dengan menawarkan/memberi hadiah atau merendahkan diri dengan menerima suap.
7)Jangan membenci, dengki, irihati dengan alasan apapun.
8)Jangan
bergantung pada siapapun, usahakan untuk melaksanakan sendiri sebanyak
mungkin, walaupun seseorang kaya raya dan memiliki banyak pembantu,
tetapi pelayanan masyarakat (seva) agar dilaksanakan langsung sendiri.
Jadilah pelayan bagi diri sendiri dan orang lain.
9)Jangan
sekali-kali melanggar hukum yang berlaku di negara kita. Patuhilah
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadilah warga negara teladan.
10)Cintailah Tuhan Yang Maha Esa, dan segenap ciptaan-Nya dan jauhilah dosa dan perbuatan buruk.
Harapan
Semoga
bangsa Indonesia yang dipuji-puji karena kehidupan beragamanya di masa
yang silam seperti dinyatakan oleh Lee Khoon Choy (Muhammad, 2004:6)
“Nowhere in the world do we find the country in which religion plays
such an important role in the lives of people............... Wether they
are Christians, Buddhists, Hindus, Muslims, Confucianists or Taoists,
they have to believe in One God. There is no place for atheists”, dapat
segera menuntaskan masalah radikalisme dan terorisme yang mengataskan
agama ini.
Daftar Pustaka
Bagus, I
Gusti Ngurah.1993. Kehadiran Agama Hindu di Indonesia, dan Peranannya
Dalam Pembangunan Nasional, Makalah pada 100 Tahun Parlemen Agama-Agama
sedunia, dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia, Yogyakarta,
11-12 Oktober 1993.
Ellsberg, Robert. 2004. Gandhi on Christianity. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Ermaya
Suradinata, 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar
Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh
Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni
2004.
Muhammad, Afif. 2004. Radikalisme Agama Abad 21. Makalah
Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama.
Diselenggarakan oleh Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati,
Bandung, tanggal 17 Juni 2004.
Mumukshananda, Svami. 1992. The Complete Works of Svami Vivekananda,I, Calcuta: Advaita Ashram.
Prabhu, R.K. & U.R.Rao. 1967. The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: The Navajivan Trust.
Radhakrishan, S. 2002. Hindu Dharma, Pandangan Hidup Hindu, Terjemahan Agus Mantik, Jakarta: Manikgeni.
-------, 1949: The Bhagavadgita, George Allen and Unwin Ltd. London.
Sutapa,
Pendeta Djaka. 2004. Radikalisme dan Masa Depan Bangsa. Makalah Seminar
Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama. Diselenggarakan oleh
Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, tanggal 17 Juni
2004.
Schuon, Frithjof. 2003.Mencari Titi Temu Agama-Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Suseno, Frans Magnis.2002. Harian Jawa Pos, hal.1, tanggal 30 Desember 2002.
Titib, I Made. 1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
Vamadeva
Shastri, Pandit. 2005. Bagaimana Hindu Menjawab Terorisme? Yoga,
Ahimsa dan Serangan Teroris. Jakarta: Media Hindu, Majalah Bulanan,
Desember 2005.
Visvananda, Svami.1937. Unity of Religions,
dalam The Religions of the World, Sri Ramakrishna Centenary Parliament
of Religions, Calcuta: Sri Ramakrishna Mission Publications.
Wahid,
Abdul, Sunardi, Muhammad Imam Sidik.2004. Kejahatan Terorisme:
Perspektif Agama, HAM dan Hukum. Kata Pengantar K. H. A. Hasyim Muzadi,
Bandung: PT. Refika Aditama.
Walker, Benyamin. 1983. Hindu World, Vol.II. New Delhi: Munshiram Manoharlal.
Zaehner, Robert C. 1993. Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.