HINDU SOPOYONO: Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Selasa

Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu

Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu
Selayang Pandang
Oleh : Miswanto, Denpasar (Sambungan WHD. No. 453)


Sedangkan dalam konteks tindakan, unggah-unggah yang juga merupakan istilah untukaturan-aturan tingkah laku atau tindakan-tindakan orang Jawa ini mempunyai bentuk yang cukup bervariasi. Dalam pandangan Jawa tentang ungah-ungguh itu sendiri pada intinya berkenaan dengan rasa isin (malu) dan sungkan/hormat.

Bedasarkan rasa tersebut manusia Jawa akan selalu berusaha untuk “menarik diri” dan membatasi diri dengan melakukan tindakan-tindakan baik itu cara beilalan, bersolek, berpakaian dan sebagainya yang sesuai dengan asas sopan santun itu sendiri. Gambaran tersebut mungkin dapat kita lihat pada sebuah peribahasa Jawa “ajining raga saka bhusana, ajining diri saka lathi” (seseorang akan dihargai dan cara ia berpakaian dan berbicara). Dalam pada itu akan mungkin sekali dalam ungah-unguh itu banyak kata “ojo” (jangan) dan “gak ilok” (nggak boleh). Misalnya ketika banyak orang tua sedang duduk-duduk di lantai kemudian kita mau lewat diantaranya, maka kita yang kebetulan lebih muda harus membungkukkan badan dengan mengucapkan salam “nuwun sewu”. Jika seandainya kita melanggar ketentuan itu, maka kita akan dicap dengan kata-kata yang bermakna konotasi negatif seperti “ora nduwe duga” dan masih banyak lagi penggambaran-penggambaran unggah-ungguh dalam budaya Jawa yang kita kenal sejak Jaman Hindu hingga jaman sekarang ini.


Benda-benda berbentuk tertentu
Benda-benda yang dibuat sebagai simbolisasi ini pada umumnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tatkala benda-benda tersebut dibuat. Ada beberapa jenis benda warisan dan budaya Jawa-Hindu yang mengandung makna simbolik yang sangat mendalam sebagaimana pemahaman dalam religiositas Jawa itu sendiri. Dari benda-benda simbolik itu yang kini masih terjaga diantaranya:

Lingga YoniLingga Yoni adalah benda yang biasanya terbuat dari batu yang dibentuk sedemikan rupa sehingga menyerupai phallus laki-laki di atas bulatan yang merupakan Yoninya. Bentuk simbolik ini adalah warisan dari kebudayaan Hindu di India yang merupakan lambang dari Dewa Siwa dan Dewi Uma. Dalam budaya Jawa Hindu, benda ini dianggap sebagai lambang “Ibu Bumi/Pertiwi Bapa Akasa”

Lingga Yoni ini sangat disucikan oleh umat Hindu di seluruh dunia termasuk Indonesia lebih spesifik lagi (Jawa). Ada beberapa daerah di Jawa yang menggunakan Lingga Yoni sebagai sarana pemujaan. Sebut saja di Gumuk Kancil, Banyuwangi, Gunung Semeru dan di Dusun Nayan, Desa Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang saat ini sedang membangun candi yang berisikan Lingga Yoni sebagai pemujaannya.

Candi
Sebagaimana Lingga Yoni atau Meru di Bali, Candi juga merupakan bentuk benda atau bangunan yang sangat disakralkan. Candi dalam pengertian peninggalan purbakala atau pun pemahaman kini di Jawa merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga yang disebut sebagai kahyangan. Hal ini juga dibenarkan oleh Soekmono dalam disertasinya “Candi, Fungsi dan Pengertiannya” yang menyatakan bahwa candi di Jawa bukanlah sebagai makam karena rajaraja atau nenek moyang di Jawa dahulu tidak mengenal penguburan jenasah, melainkan kremasi sebagimana yang diungkapan banyak khalayak Jawa pada umumnya.

Lebih lanjut, candi-candi di Jawa pada umumnya mempunyai bentuk dan pola yang sama yaitu terdiri atas bagian kaki, badan dan kepala candi yang juga menjadi bagian-bagiaii dalam Padmasana sebagai Pryangan umat Hindu di Indonesia saat ini. Keseluruhan itu nampak sebagai bentuk yang melambangkan Mahameru, tempat tinggal para dewa.

Wayang
Wayang memanglah bukan budaya asli Hindu, melainkan budaya Indonesia (baca: Jawa) itu sendiri. Karena jauh sebelum Hindu masuk ke Indonesia, wayang sudah berkembang sebagai bentuk budaya yang mempunyai kemiripan dengan seni teater diberbagai belahan dunia di Indonesia waktu itu.

Namun demikian simbolisme dalam wayang yang ada pada jaman dahulu sebelum ada pengaruh Hindu masih berwujud lukisan atau boneka yang amat sederhana buatannya seperti gambar punokawan saat sekarang ini. Baru setelah masuknya pengaruh dan kesenian Hindu simbolisme itu mengalami perubahan hihgga seperti yang kita kenal sekarang di mana lebih kelihatan nuansa Hindunya.

Lebih-lebih dengan masuknya sastra Hindu (Mahabharata dan Ramayana) ke sistem cerita wayang di Jawa, wayang menjadi lebih bermakna tidak sekedar bentuknya saja tetapi juga nilai dan esensinya.

Kesemuanya itu terlihat jelas pada pelbagai simbolisasi yang ada dalam sarana-sarana yang dipakai dalam wayang itu sendiri. Seorang dalang adalah perwujudan dan orang yang mengajarkan kawruh (pengetahuan) sebagaimana kata dalang yang berasal dari “weda” yang berarti pengetahuan dan “mulang” yang berarti mengajarkan. Sedangkan secara jarwa dosoknya dalang dapat diinterpretasikan sebagai “ngudhal piwulang”. Kemudian symbol-simbol yang lain seperti blencong, kelir, dan lain-lain yang sarat dengan makna kehidupan manusia itu sendiri.

Simbolisme itu pada saat tertentu sangat diskralkan. Pemaknaan ini dapat kita lihat pada beberapa prosesi upacara misalnya Ruwatan yang dilaksanakan oleh Ki Dalang Kanda Buwana sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Di sana ada simbolisme yang berupa wayang yang digunakan pada prosesi upacara tersebut.

Keris
Keris adalah warisan budaya nenek moyang Indonesia. Asul-asul keris tidak begitu jelas, mengingat banyak daerah baik itu di Indonesia maupun di luar negeri juga mengenal benda yang satu ini. Di Jawa keris ini sudah dikenal pada masa Mpu — sebutan untuk sang pembuat keris— Ramadi dengan kerisnya yang terkenal diantaranya: Sang Lar Ngantap, Sang Pasupati dan Sang Cundrikarum atau pada masa jawa Kanda sekitar tahun 125. Kemudian setelah itu banyak para Mpu yang mengikuti jejak Mpu Ramadi ini.

Setelah Hindu masuk ke Indonesia budaya keris ini banyak dipengaruhi oleh Hindu hingga menjadi suatu tradisi yang kita kenal sekarang ini. Hal ini terbukti dengan adanya prosesi pada pembuatan keris yang di dalamnya menggunakan japa-mantra yang diambil dari Hindu. Misalnya sebelum menayuh seorang mPu harus berdoa dan mengucapkan mantra seperti, “aum awighnamastu, hanata sira inarcaya, yeka sara ulun, ulun yun miminta, inggita de inagruhan ri andika” yang artinya, “Ya,Tuhan semoga tidak ada halangan. Adalah pusaka yang dihormati, ialah pusakaku, hamba ingin memohon syarat tanda-tanda diberi nugraha yang baik”.

Kalau kita kaji lebih lanjut sebenarnya banyak yang kita perlu kita pahami dan sebuah benda kuno ini. Nilai-nilai yang terkandung dari falsafah keris ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan ajaran-ajaran moral yang ada dalam setiap ajaran agama, lebih-lebih Agama Hindu yang mempunyai korelasi dengan nilai religius dalam pembuatan keris-keris pusaka. Nilai-nilai itu terutama bagi masyarakat Jawa telah menjadi sendi-sendi dalam suatu pandangan hidup yang adi luhung dan bersifat universal, terutama bagi mereka yang mengerti mengenai paham Jawa atau yang Iebih sering dikenal sebagai kejawen.

Penutup
Setelah memahami ulasan-ulasan yang singkat tentang simbolisme dalam budaya Jawa ini, maka tidak ada lagi kata “musryik” bagi masyarakat Jawa untuk menerima Hindu dengan segala simbolisasinya sebagai agama yang paling banyak memberikan ilham dalam gaya hidup Jawa yang pada hakekatnya juga sarat dengan simbolisasi baik yang masih abstrak maupun yang sudah konkret. WHD No. 455 Desember 2004.