Ditulis Oleh Bambang Kuncoro
Budaya yang berlaku dalam
suatu bangsa-–yang mencakup paradigma, sikap, dan pola tindakan–
merupakan cerminan nilai budaya bangsa tersebut. Budaya terus berkembang
seiring dengan bergulirnya waktu, namun nilai budaya yang telah ada
tidak akan hilang sama sekali pada masa selanjutnya. Nilai budaya itu
akan menjadi unsur pembentuk, unsur yang mewarnai, mendasari, bahkan
dapat mendominasi nilai-nilai budaya sesudahnya.
Menurut
sejarahnya, unsur pembentuk nilai budaya Jawa masa sekarang berasal dari
3 jaman terdahulu, yaitu jaman pra Hindu-Buddha, jaman Hindu-Buddha,
dan jaman kerajaan Jawa-Islam. Sejak jaman pra Hindu-Buddha, orang Jawa
telah mengenal bentuk organisasi desa (Suseno, 1984). Saat itu mereka
telah menjalani kehidupan dalam masyarakat yang tertata rapi sehingga
terbentuk nilai-nilai sosial-kemasyarakatan yang bertahan sampai
sekarang.
Konsep pergaulan masyarakat Jawa tak dapat dilepaskan
dari cita-cita mistik. Etika kebatinan menyatakan bahwa cita-cita mistik
yang menyatakan kemanunggalan dan keharmonisan antara manusia dan Tuhan
itu adalah model bagi hubungan manusia dengan masyarakat (Mulder,
1983). Oleh karena itu masyarakat Jawa memiliki konsep pergaulan dalam
dua prinsip: rukun dan hormat.
Prinsip rukun menuntun agar
bersikap sedemikian rupa agar tidak menimbulkan konflik. Prinsip ini
menurunkan sikap gotong-royong, tolong-menolong, dan solidaritas.
Sedangkan prinsip kedua (hormat) berhubungan dengan cara bicara dan
membawa diri yang selalu menunjukkan hormat dengan orang lain.
Sikap-sikap yang diturunkan oleh prinsip ini adalah memiliki isin (rasa
malu), akrab, dan musyawarah (Suseno, 1984; Geertz, 1961).
Bagi
orang Jawa, hakikat manusia sebagai makhluk sosial adalah berbudaya.
Ketika tidak menunjukkan sikap dan tingkah laku seperti kedua prinsip di
atas, maka akan dikatakan durung njawa (belum jadi orang Jawa yang
sebenarnya) (Mulder, 1983).
Spiritualitas Jawa
Sejak jaman
awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat Jawa telah
memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan
sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut
kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah:
masyarakat Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan
yang bersifat: tak terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka
menaruh harapan agar mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak
diganggu kekuatan gaib lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana,
1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep
baru tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri
memunculkan figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan
dewa. Maka berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja
diposisikan sebagai ‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi
kedewataan di dunia (Simuh, 1999). Selain itu berkembang pula sarana
komunikasi langsung dengan Tuhan Sang Pemilik Kekuatan, yaitu dengan
laku spiritual khusus seperti semedi, tapa, dan pasa (berpuasa).
Jaman
kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat, dengan
dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam.
Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut
menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja,
disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para
wali dan guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf.
Pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik dapat
sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual
Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang juga
karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan
tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir
dan puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan
serat Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:
Ngelmu iku
kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani. Setya
budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu
(ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai dengan
niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk
mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di
sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat atau
ilmu batin, karena dijalani dengan mujahadah laku spiritual yang berat
(Simuh, 1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering
dilakukan adalah dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa.
Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada
saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat Jawa. Ada
yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan
ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa
(puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena
pelaksanaan tapa hampir selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa dan pasa:
- pasa di bulan pasa (Ramadhan)
sama
dengan puasa wajib dalam bulan Ramadhan. Sebelumnya, akhir bulan ruwah
(sya’ban ) dilakukan mandi suci dengan mencuci rambut
- tapa mutih (a)
hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut
- tapa mutih (b)
berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari
- tapa ngrawat
hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam
- tapa pati geni
berpantang makan makanan yang dimasak memakai api (geni) selama sehari-semalam
- tapa ngebleng
tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam
- tapa ngrame
siap berkorban/ menolong siapa saja dan kapan saja
- tapa ngéli
menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)
- tapa mendem
menyembunyikan diri (mendem)
- tapa kungkum
menenggelamkan diri dalam air
- tapa nggantung
menggantung di pohon
Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dan lainnya.
Untuk
memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat beberapa hal.
Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya berdasarkan
panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan sendiri
para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru
kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa.
Kedua,
ritual puasa ini sendiri bernuansa tasawuf, dalam arti, mistik.
Sehingga penjelasannya pun memakai sudut pandang mistis dengan
mengutamakan rasa dan mengesampingkan nalar.
Ketiga, dalam budaya
mistik Jawa terdapat etika guruisme, di mana murid melakukan taklid buta
pada Sang Guru tanpa menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena
itu, interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan
secara khusus terhadap satu jenis puasa, melainkan secara umum.
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik
Ciri
laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak
menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah
menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan
terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga
dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai
kesempurnaan ruh.
2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam
hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan batin.
Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia secara
konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian, mampu
berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.
Interperetasi
pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu pemaknaan saja.
Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan berlaku umum dalam
dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr, ”Jalan mistik
sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan di mana
manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka supaya lahir
kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan dengan
Yang Benar” (Nasr, 2000)
3. Puasa sebagai ibadah
Bagi orang
Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan dalam
hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk
syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.