PENDAHULUAN
Sam jaaspatyam suyamam astu devah (Rgveda X. 85. 23)
Hyang Widhi, semoga kehidupan pernikahan ini tenteram dan bahagia.
Asthuuri no gaarhapatyaani santu (Rgveda VI. 15. 19)
Semoga hubungan suami-istri ini tidak pernah putus dan berlangsung selamanya.
Ihaiva stam maa vi yaustam, Visvaam aayur vyasnutam, kriidantau putrair naptrbhih, modamaanau sve grhe (Rgveda X. 85. 42)
Semoga
pasangan suami-istri ini tetap erat dan tak pernah terpisahkan,
mencapai kehidupan yang penuh kebahagiaan, tinggal di rumah dengan hati
gembira, dan bersama bermain dengan anak-anak dan cucu-cucu.
Pernikahan atau wiwaha dalam
Agama Hindu adalah yadnya dan perbuatan dharma. Wiwaha (pernikahan)
merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahapan kehidupan
berumah tangga. dalam adat Hindu di Bali merupakan upaya untuk
mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut lontar Agastya
Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut „Yatha sakti Kayika
Dharma“ yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi
seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma
secara profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin
menempuh jenjang perkawinan.
Grahasta Ashram
secara sah dimulai pada saat seorang lelaki dan seorang wanita
mengangkat sumpah untuk hidup bersama dengan direstui dan disaksikan
oleh kedua orang tua/wali, diberkati dengan mantra suci Weda oleh
pinandita, dan dicatat oleh Parisadha Hindu Dharma.
Undang-Undang R.I. No. 1/1974 pasal 1 menyebutkan
bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Wiwaha adalah
ikatan suci dan komitment seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan
ikatan sosial yang paling kuat antara laki laki dan wanita. Wiwaha juga
merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual. Lelaki
dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan
dipersatukan kembali agar menjadi manusia yang seutuhnya karena di
antara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Wiwaha harus
berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi
dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling
bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah.
Pawiwahan atau Pernikahan
adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke
hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang
bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sarana
Pawiwahan berupa Segehan cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat
dari serabut kelapa), Tetabuhan (air tawar, tuak, arak),
Padengan-dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan (tikar kecil yang
dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu
dadap yang ujungnya berisi periuk, bakul yang berisi uang), Bakul,
Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan
benang putih.
Rangkaian upacara pawiwahan
merupakan pengesahan karena sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu: Bhuta
saksi (upacara mabeakala), Dewa saksi (upacara natab banten pawiwahan,
mapiuning di Sanggah pamerajan), dan Manusa saksi (dengan hadirnya
prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya). Manusa
saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan, sSesuai
dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan
itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang
kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau
didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini
bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai
kekuatan hukum.
Makna dan Lambang
UU
Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai hukum
agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara agama
yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh
seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah
natah) karena merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai
penguasa wilayah madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari
kata “kala” yang berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan
kama yang memiliki mutu keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat
memberi pengaruh kepada pasangan pengantin yang biasa disebut dalam
“sebel kandel”.
Dengan upacara mekala-kalaan
sebagai sarana penetralisir (nyomia) kekuatan kala yang bersifat negatif
agar menjadi kala hita atau untuk merubah menjadi mutu kedewataan
(Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari Sang Hyang Kala
Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang Hyang Semara Jaya
dan Sang Hyang Semara Ratih.
Jadi makna upacara mekala-kalaan
sebagai pengesahan perkawinan kedua mempelai melalui proses penyucian,
sekaligus menyucikan benih yang dikandung kedua mempelai, berupa sukla
(spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita (ovum) dari pengantin
wanita.
Tujuan Perkawinan / Wiwaha
- Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
- Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha).
- Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).
Kitab Manavadharmasastra menyatakan bahwa tujuan wiwaha meliputi:
- Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
- Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
- Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.
Perkawinan pada hakikatnya
adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk
menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci
Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan
“Ri
sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang
subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang
asubha karma pahalaning dadi wang”
artinya:
dari
demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai
manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk
peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah
manfaat jadi manusia.
Berkait dengan sloka tersebut,
karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki
menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan
dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya
kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan
dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi
seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Keluarga yang berbahagia kekal
abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan
serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri,
masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri) haruslah
saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta
mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni”
berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan
saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi
yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang
tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.
Tugas dan Kewajiban Suami
Mameyam astu posyaa, mahyam tvaadaad brhaspatih, mayaa patyaa prajaavati, sam jiiva saradah satam (Atharvaveda XIV.1.52)
“Engkau
istriku, yang dianugrahkan Hyang Widhi kepadaku, aku akan mendukung dan
melindungimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamaku dan anak
keturunan kita sepanjang masa”.
Suami
hendaknya berusaha tanpa henti untuk mewujudkan kesejahteraan dan
kemakmuran bagi keluarganya, menafkahi istri secara lahir dan batin,
merencanakan jumlah keluarga, menjadi pelindung keluarga dan figur yang
dihormati dan ditauladani oleh istri dan anak-anaknya.
Tugas dan Kewajiban Istri
Samraajni svasure bhava, samraajni svasrvam bhava, nanandari samraajni bhava, samraajni adhi devrsu (Rgveda X.85.46)
“Wahai
mempelai wanita, jadilah nyonya rumah tangga yang sesungguhnya,
dampingilah (dengan baik) ayah ibu mertuamu, dampingilah (dengan baik)
saudara saudari iparmu”.
Yantri raad yantri asi yamani, dhruvaa asi dharitrii (Yajurveda XIV.22)
“Wahai wanita jadilah pengawas keluarga yang cemerlang, tegakkanlah aturan keluarga, dan jadilah penopang keluarga”.
Viirasuup devakaamaa syonaa, sam no bhava dvipade, sam catuspade (Regveda X.85.43)
“Wahai
wanita, lahirkanlah keturunan yang cerdas, gagah, dan berani, pujalah
selalu Hyang Widhi, jadilah insan yang ramah dan menyenangkan kepada
semua orang, dan peliharalah dengan baik hewan peliharaan keluarga”.
Seorang istri hendaknya selalu
setia kepada suami, rajin dan taat dalam menjalankan puja bhakti kepada
Hyang Widhi, melahirkan dan memelihara anak-anak agar cerdas gagah dan
berani, selalu menopang keluarga dan menjalankan aturan dengan baik,
berbicara dengan lemah lembut kepada semua orang, menghormati keluarga
mertua, menjaga dan mengatur harta keluarga, tanaman, dan hewan
peliharaan milik keluarga dengan baik. Bila demikian, niscaya
keluarganya akan bahagia dan sejahtera selalu.
JENIS PERKAWINAN
Dalam Kitab Suci Hindu: Manawa Dharmasastra ada delapan cara perkawinan, yaitu:
- Brahma Wiwaha: perkawinan terhormat di mana keluarga wanita mengawinkan anaknya kepada pria yang berbudi luhur dan berpendidikan yang dipilih oleh orang tua gadis. (Manawa Dharmasastra Bab III.27)
- Dewa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang telah berjasa (non material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.28)
- Arsa Wiwaha: orang tua mengawinkan anak gadisnya kepada pria yang memberikan sesuatu (material) kepadanya. (Manawa Dharmasastra Bab III.29)
- Prajapatya Wiwaha: perkawinan yang direstui kedua pihak baik dari keluarga laki maupun keluarga wanita. (Manawa Dharmasastra Bab III.30)
- Gandharwa wiwaha: perkawinan atas dasar saling mencinta di mana salah satu atau kedua pihak orang tua tidak turut campur, walaupun mungkin tahu. (Manawa Dharmasastra Bab III.32)
Upacara Pawiwahan Sadampati
Upacara
Pawiwahan Sadampati adalah upacara yang sangat sederhana, biayanya
sedikit namun makna yang dikandung sangat tinggi, karena banten
(upakara) yang digunakan dalam upacara pawiwahan ini mengandung
simbol-simbol yang lengkap. Perkataan Sadampati terdiri dari rangkaian
kata-kata: sa-dampa-ti masing-masing kata berarti sebagai berikut: sa =
satu; dampa = tempat duduk/ bangku; ti = orang. Keseluruhan berarti:
orang-orang yang duduk bersama dalam satu bangku untuk menikah. Acuan
upacara ini adalah lontar: Dharma Kauripan.
Banten yang digunakan sangat sederhana sebagai berikut:
- Beakala, simbol pensucian “sukla swanita” (calon jabang bayi) dan sebagai Bhuta saksi, yaitu bagian dari Trisaksi yakni: Bhuta, Dewa, dan Manusa Saksi.
- Tegteg daksina peras ajuman masing-masing di Sanggar Surya untuk mohon kesaksian Bhatara Surya/ Siwa, di Lebuh untuk mohon kesaksian Bhatara Wisnu, dan di arepan Pandita untuk mohon pemuput.
- Hulu banten berupa tegteg daksina peras ajuman di depan bale pawiwahan.
- Dua buah pajegan yaitu pajegan buah-buahan diletakkan di sebelah kanan sebagai simbol pradana, dan pajegan bunga-bungaan disebelah kiri sebagai simbol purusha.
- Taledan segi empat sebagai alas banten, simbol catur weda.
- Dua buah tumpeng, yaitu merah simbol kama bang (wanita) dan tumpeng putih simbol kama petak (laki-laki).
- Satu butir telur bebek rebus simbol calon janin diletakkan di tengah-tengah tumpeng dan ditancapi bunga warna merah dan putih.
- Kalungan bunga merah putih simbol kekuatan ikatan perkawinan.
- Segehan aperancak sebanyak 5 tanding masing-masing diletakkan dibawah sanggar surya, beakala, bale pawedaan, bale pawiwahan, dan di lebuh, sebagai haturan kepada bhuta kala.
- Tegteg daksina peras ajuman di kamar tidur pengantin untuk mohon perlindungan kepada Bethara Semara-Ratih agar pengantin dilindungi dari mara bahaya dalam melaksanakan pawiwahan.
Tata pelaksanaan Upacaranya
adalah Pandita ngarga tirta, mareresik, dan mapiuning ke sanggar surya
dan lebuh, kemudian pengantin mabeakala, setelah itu pengantin
menghadapi bale pawiwahan untuk natab banten pawiwahan sadampati.
Sebelumnya pengantin dikalungi bunga.
Setelah
natab, telur bebek dikupas dan diberikan makan kepada pengantin;
pengantin mejaya-jaya, terus muspa, mabija, mawangsuh pada. Pandita
memberikan dharma wacana tentang susila pengantin kepada kedua mempelai.
Pandita mapuja banten yang ada di kamar tidur pengantin.
Urutan Upacara Pernikahan
Upacara di rumah pengantin wanita:
- Masewaka / melamar
- Madik – Meminang
- Mabeakala
- Mepamit di mrajan / sanggah
Upacara di rumah pengantin lelaki:
- Mareresik
- Mapiuning di Sanggar Surya
- Upacara suddi-wadhani
- Mabeakala
- Mapadamel
- Metapak oleh kedua orang tua
- Mejaya-jaya
- Ngaturang ayaban
- Natab peras sadampati
- Pemuspaan
- Nunas wangsuhpada/ bija
Nb.
madelokan (kedua mempelai pulang menjengguk keluarga wanita, biasanya dilaksanakan setelah H+3 Pernikahan)