Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus pradana dan
menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, adakalanya
pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu
di antara bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan
anak tunggal, sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut
perkawinan pada gelahang. Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera disikapi.
Selain perkembangan mengenai bentuk perkawinan, perkawinan beda wangsa yang
secara hukum tidak lagi dianggap sebagai larangan perkawinan sejak
tahun 1951 berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11/Tahun 1951 tanggal
12 Juli 1951, ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri dalam
masyarakat, yakni masih dilangsungkannya upacara patiwangi dalam perkawinan yang lazim disebut nyerod.
Hal ini perlu pula disikapi karena hal itu bertentangan dengan hak
asasi manusia dan menimbulkan dampak ketidaksetaraan kedudukan perempuan
dalam keluarga, baik selama perkawinan maupun sesudah perceraian.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu
di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum adat
Bali (disaksikan prajuru banjar atau desa pakraman) dan agama
Hindu. Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan bagi
umat Hindu di Bali dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut
hukum adat Bali, agama Hindu, sedangkan perceraian baru dapat dikatakan
sah apabila dilaksanakan di pengadilan negeri sesuai ketentuan
Undang-Undang Perkawinan.
Apabila diperhatikan uraian di atas,
tampak jelas bahwa Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan penghargaan
yang seimbang kepada hukum adat Bali dan agama Hindu, dalam hubungan
dengan pelaksanaan perkawinan dan perceraian bagi umat Hindu. Ketentuan
hukum adat Bali dan ajaran Hindu mendapat tempat yang sepantasnya dalam
pelaksanaan perkawinan, tetapi tidak demikian halnya dalam perceraian.
Terbukti, perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, tanpa
menyebut peran hukum adat Bali (prajuru desa pakraman) dan
ajaran agama Hindu. Akibatnya, ada sementara warga yang telah cerai
secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tetapi tidak diketahui oleh
sebagian besarkrama desa (warga) dan tidak segera dapat diketahui oleh prajuru desa pakraman. Kenyataan ini membawa konsekuensi kurang baik terhadap keberadaan hukum adat Bali dan menyulitkan prajuru desa dalam menentukan swadharma atau tanggung jawab krama desa bersangkutan.
Berdasarkan fakta-fakta di atas maka Pasamuhan Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali memutuskan sebagai berikut.
- Upacara patiwangi tidak dilaksanakan lagi terkait dengan pelaksanaan upacara perkawinan.
- Bagi calon pengantin yang karena keadaannya tidak memungkinkan melangsungkan perkawinan biasa atau nyeburin (nyentana), dimungkinkan melangsungkan perkawinan pada gelahang atas dasar kesepakatan pihak-pihak yang berkepentingan.
- Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus menyampaikan kehendaknya itu kepada prajurubanjar atau desa pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya perceraian.
- Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
- Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan agama Hindu.
- Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah, menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian menjelaskan swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau desa pakraman, setelah perceraian.
4. Akibat hukum perceraian adalah sebagai berikut.
- Setelah perceraian, pihak yang berstatus pradana (istri dalam perkawinan biasa atau suami dalam perkawinannyeburin) kembali ke rumah asalnya dengan status mulih daa atau mulih taruna, sehingga kembali melaksanakanswadharma berikut swadikara-nya di lingkungan keluarga asal.
- Masing-masing pihak berhak atas pembagian harta gunakaya (harta bersama dalam perkawinan) dengan prinsippedum pada (dibagi sama rata).
- Setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya, tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa, dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.