Menurut epos Mahabharata XVI dikatakan
bahwa di dekat Kerajaan Ekacakra terdapat gua yang ditempati oleh
Raksasa Bakasura yang kuat dan buas. Raksasa Bakasura menyerang Raja
Ekacara. Sang raja kalah lalu melarikan diri ke Kota Vetrakiya. Sejak
hari itulah Raksa Bakasura berbuat sewenang-wenang di Kerajaan itu. Jika
Bakasura lapar, dia akan keluar dari gua melakukan pembunuhan terhadap
penduduk dengan sewenang-wenang untuk dimakannya. Tidak terkecuali
apakah orang tua, muda, kecil, laki, perempuan yang dijumpainya dibunuh
untuk dimakannya. Penduduk Ekacakra yang amat resah lalu berunding dan
mengajukan usul kepada Bakasura sebagai berikut: “kami akan membawakan
kamu makanan seminggu sekali ke depan gua. Makanan itu terdiri dari
daging, nasi, kue, susu dan minuman keras. Kami akan kirim dengan kereta
yang ditarik oleh 2 ekor kerbau dan diantar oleh seorang manusia.
Engkau boleh makan semua makanan itu beserta 2 ekor kerbau dan
manusianya, dengan syarat hentikanlah pembunuhan yang sewenang-wenang
ini”.
Bakasura setuju dan mulai hari itulah
setiap minggu dikirim makanan yang ditarik oleh 2 ekor kerbau dan
diantar oleh seorang manusia. Setiap keluarga bergiliran mengorbankan
salah seorang anaknya untuk santapan Bakasura. Sampai suatu ketika
sampailah keluarga Brahmana yang harus mengorbankan salah seorang
anaknya. Keluarga Brahmana itu terdiri dari 4 jiwa yaitu ayah, ibu dan 2
orang anak. Menangislah sang ayah lalu bilang kepada istrinya: biarlah
aku saja yang menjadi korban agar anak-anak kita selamat. Istrinya juga
menangis dan berkata: aku sajalah yang menjadi korban jika anak-anak
tanpa ayah akan amat kesusahan. Anaknya mendengar orang tuanya menangis
lalu kedua anaknya menawarkan diri menjadi korban agar ayah dan ibunya
selamat. Berpeluk-pelukan mereka berempat menangis lalu didengar oleh
Ibu Kunti yang pada waktu itu Panca Pendawa numpang di keluarga itu
dalam menjalani pengasingannya selama 13 tahun. Ibu Kunti merelakan Bima
yang menjadi korban. Tepat pada hari pengiriman makanan, Bimalah yang
mengantarkan makanan itu. Singkat cerita Bima berperang tanding yang
amat seru melawan Bakasura dan Bima berhasil membunuh Bakasura.
Makna cerita ini adalah menyindir
pengorbanan berupa makanan, minuman keras dan binatang (caru) untuk
Bhuta kala yang diperlambang Raksasa Bakasura. Tokoh agama Hindu yang
masih berpatokan pada buku Sarwa Caru adalah tokoh yang tidak berbeda
dengan keluarga Brahmana di Ekacakra yang tidak bisa berkutik dijajah
oleh Bakasura. Bima adalah perlambang kekuatan rohani yang ada pada diri
setiap manusia. Jadi sepanjang rohani umat hindu lemah, selama itu pula
akan terus susah dan was-was dihantui oleh gertak-gertak yang
menakut-nakuti dengan dalih akan terjadi bencana (gerubug) jika tidak
macaru. Umat menjadi susah karena banyak uangnya terkuras untuk upacara
yang tidak berpahala. Was-was karena tidak paham dengan caranya
membangkitkan Bima (kekuatan rohani) yang ada pada dirinya. Kaum
pendatang yang tidak pernah macaru amat mudah mengalahkan orang Bali
dalam persaingan merebut sumber-sumber rejeki yang ada di Bali. Mereka
lebih kuat karena tekun berjapa dan taat memuja Sang Hyang Widhi setiap
jam 04.30-05.00 (waktu Brahmamuhurtam = waktu yang amat suci). Dengan
menyebut-nyebut Sang Hyang Widhi Yang Maha Agung (Allah Akbar).
Kebaktian dengan berjapa lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan
menghaturkan banten sebanyak apapun (M. D. II. 86). Untuk menyelamatkan
diri dari serangan berbagai masalah pada zaman Kali sekarang ini adalah
dengan berjapa dan dermawan. Pecaruan dengan mengorbankan binatang tidak
mampu bahkan menambah dosa. Itulah makanya umat Hindu diserbu oleh para
pendatang yang merampas sumber-sumber rejekinya umat Hindu. Umat Hindu
kalah karena mengabaikan japa. Para pendatang menang karena tekun
berjapa dan tepat waktu memuja Tuhan setiap jam 04.30-05.00
(Brahmamuhurtam).
Resep Balian berbeda dengan resep
dokter. Resep tokoh agama yang acuannya pada sastra agama kelas rendah
ibarat Balian, berbeda dengan resep para orang suci yang mengacu pada
sastra agama kelas tinggi (Veda), para orang suci ibarat dokter. Jika
Anda digigit oleh anjing gila lalu Anda konsultasi ke Balian, maka Anda
diberi obat jamu (loloh) dan boreh (lulur). Loloh dan boreh tidak mempan
menolak virus Rabies sehingga hanya menunggu waktu saja akan mati.
Walaupun resep Balian itu tidak pernah menyembuhkan pasien, tetapi tetap
saja Jero Balian memakai resep itu dan tidak mau belajar kepada dokter.
Begitulah umat Hindu yang kesusahan menghadapi 4 tantangan global
diobati dengan upacara “macaru ini dan macaru itu”. Banten caru itu
ibarat boreh yang tidak mempan dipakai mengatasi 4 tantangan global yang
diumpamakan virus Rabies. Umat Hindu yang terus berpedoman kepada
sastra agama kelas rendah akan bernasib seperti “katak rebus” hanya
menunggu waktu untuk bangkrut.
Bagi Anda yang mau mengamankan keluarga
agar luput dari pengorbanan yang sia-sia, maka dianjurkan oleh para
orang Suci untuk melakukan tiga disiplin sebagai berikut:
Dalamilah filsafat agama Hindu, kemudian
praktikkan setiap hari di masyarakat. Tanpa mendalami filsafat agama
maka Anda akan bodoh. Orang yang bodoh mudah ditipu oleh manusia yang
licik maupun oleh hantu, setan atau Bhuta Kala yang mengaku Dewa.
Berjapalah setiap saat di mana saja
kapan saja sambil apa saja. Zaman kali sekarang ini ada dua disiplin
yang harus dilakukan terus menerus jika ingin hidup aman, tentram dan
damai yaitu: 1. mengulang-ngulang menyebut nama Tuhan yang disebut
berjapa dan 2. Dermawan. Nama Tuhan yang mana? Silahkan pilih salah satu
dari sekian banyak nama Tuhan karena semua nama Tuhan memiliki
kesaktian sama dengan Tuhan. Umpamanya “ Om nama Siwaya, Om namo
Narayana ya, HARY Om Tat Sat, Hare Rama Hare Krishna, Om Sai Ram dan
sebagainya ribuan nama Tuhan boleh dipilih salah satunya sesuai dengan
keyakinan masing-masing. Jika anda konsisten berjapa dengan penuh
keyakinan, maka Tuhan bersemayam di dalam hati Anda. Para Bhuta Kala,
hantu, setan, leak, sihir, binatang buas akan hormat dengan Anda karena
mereka melihat Tuhan di dalam diri Anda. Anda tidak perlu pusing macaru,
cukup dengan masegeh atau dengan Segehan Agung untuk nyomya para Bhuta
Kala. Betapapun besarnya upacara yang anda lakukan cukup dilengkapi
dengan Segehan Agung dan jangan mengorbankan binatang. Hormatilah hak
hidup para binatang. Ingatlah dengan “sarwa prani hitangkarah dan iswara
sarwa bhutanam”. Sayangi semuanya karena Tuhan ada pada semua mahkluk
hidup dalam kapasitas sebagai roh. Membunuh binatang dengan dalih apa
pun tetap berdosa karena menusir Tuhan dengan kasar yang sedang berada
di dalam tubuh binatang itu.
Lakukan meditasi secara teratur setiap
hari. Waktu pagi antara jam 04.00-06.00 (waktu Brahmamuhurtam) lebih
bagus karena pada waktu pagi kondisi badan Anda sedang bugar, kadar
prana (ambrozia di udara maksimal,, kadar oxigin 41 %), situasi
lingkungan tenang. Para dewa senang dengan orang yang bangung pagi. Jika
bermeditasi pada sore hari, lalukan antara jam 18.00-20.00 (waktu
satwam).
Jika anda konsisten melakukan ketiga
disiplin itu, maka Bhuta Kala yang ada di alam bebas maupun yang ada di
dalam pikiran Anda keduanya akan jinak (somya) walaupun Anda tidak
macaru. Pada umumnya orang kebanyakan lebih serius nyomya Bhuta Kala
yang ada di alam bebas dengan caru. Sedangkan Bhuta Kala yang ada di
dalam pikirannya malah digemukkan dengan minum alkohol, makan daging,
berjudi, selingkuh, menipu, nyopet, dan sebagainya. Sehebat apa pun
banten caru yang dikorbankan untuk para Bhuta tidak akan memberi
ketentraman maupun kedamaian semasih para Bhuta yang ada di dalam
pikiran digemukkan. Malah menumpuk dosa karena terlalu banyak membunuh
binatang yang tak berdaya/tak berdosa.
Bagi Anda yang biasa macaru, jika
mencoba berhenti macaru, pada awalnya memang akan banyak gangguan.
Gangguan ini datangnya dari orang-orang yang dihinggapi oleh Bhuta Kala
dengan melontarkan ancaman bahwa Anda akan ditimpa oleh bencana. Bhuta
Kala yang ada di dalam pikiran Anda juga menakut-nakuti dengan berbagai
alasan yang masuk akal. Hal ini mirip seperti ketagihan rokok, alkohol,
atau narkoba. Jika dihentikan maka pada awalnya Anda merasa tersiksa
beberapa hari, tetapi jika terus dihentikan akhirnya lebih aman dan
lebih nikmat rasanya untuk selamanya.
Orang yang tidak tahan menghadapi
gejolak pada masa-masa peralihan, lalu terus macaru, maka mereka akan
mengalami kerugian 2 X lipat yaitu rugi uang banyak yang habis dan rugi
karena kehilangan ketentraman dan kedamaian. Hanya di mulut saja nyomya,
tetapi didalam hati nya sering diguncang oleh berbagai masalah. Sama
seperti orang yang terus merokok atau menghisap narkoba, memang terasa
nikmat untuk sementara, tetapi pada akhirnya badannya keropos dan
uangnya banyak yang habis sia-sia. Mulutnya mengatakan nikmat tetapi
badannya menunjukkan keropos.
Macaru dengan mengorbankan binatang
adalah bertentangan dengan titah Sang Hyang Rudra yang memerintahkan
manusia agar taat melaksanakan Panca Yama (lima disiplin):
- Ahimsa, yaitu tidak menyakiti dan tidak membunuh.
- Brahmacari, yaitu mengendalikan nafsu sex.
- Sudha, yaitu menjaga kesucian (Tri Kaya Parisudha).
- Aharalegawa, yaitu makan tidak sembarangan, pilih makanan yang satwika.
- Asteya, yaitu tidak mencuri (Slokantara hal. 89).
Mengapa “ahimsa” yang ditaruh nomor 1
(satu) oleh Sang Hyang Rudha? Karena jika Anda taat melakukan ahimsa
maka Anda tidak perlu lagi macaru dengan mengorbankan binatang. Semua
Bhuta Kala, hantu, setan, leak, wang gamang atau wong samara, temedi dan
sejenisnya tunduk dan takut kepada Anda karena mereka melihat Sang
Hyang Rudha ada di dalam diri Anda sehingga mereka tunduk dengan Anda.
Itulah makanya mantra untuk Segehan Agung menyebutkan: “Sang Hyang Rudra
anugraha ring Sang Hyang Durga Dewi, Sang Hyang Durga Dewi anugraha
ring Sang Kala Dengen Agung…..” Jadi jika sudah Sang Hyang Rudra yang
merestui Anda maka semuanya akan hormat dengan Anda. Itulah makanya di
dalam Tattwa Kala dan Tutur Anda Bwana, Sang Hyang Durga memerintahkan
kepada semua Bhuta agar membantu usaha orang-orang yang taat dengan
agamanya berprilaku Tri Kaya Parisudha supaya usaha mereka berhasil atau
sukses. Setelah Anda membaca ketentuan ini jika Anda lebih percaya
kepada Guru Raksasa Yoni yang tidak memberi bukti kemakmuran dan
ketentraman kepada umat yang disuruh macaru/korban binatang, ya silahkan
karena risikonya akan menimpa diri anda. Setelah pemerintah memberi
penjelasan tentang bahayanya mengisap narkoba tetapi jika Anda masih
saja sembunyi-sembunyi mengisap narkoba ya silahkan. Risikonya
ditanggung sendiri. Jika terperangkap basah oleh Polisi pasti Anda disel
oleh penegak hukum.
Orang-orang yang melaksanakan agama
hanya berdasarkan “nguping” (mendengar) saja dan tidak mau membaca
sastra agama yang bersumber dari Veda akan terus menerus menjadi
mangsanya Raksasa Bakasura melalui Guru Raksasa Yoni. Janji berupa
kemakmuran, keamanan, ketentraman dan kedamaian hanya di mulut saja.
Nyatanya kebanyakan umat Hindu terutama kaum ibu mengeluh mengatakan
kelelahan dan susah memikul beban upacara ini dan upacara itu. Kondisi
inilah yang disebut seperti nasib “katak rebus”. Umat yang mau
menyelamatkan diri keluar dari panic, dihadang oleh belenggu Adat
istiadat yang kolot memakai alat pararem (keputusan) suryak siyu. Adat
istiadat yang luhur perlu dilestarikan, tetapi beberapa kebiasaan yang
menyebabkan umat keteter harus ditinggalkan. Jika memang benar mau
menolong umat yang miskin agar mereka mencapai hidup makmur, tentram dan
damai, ajak umat melakukan 3 kerangka agama Hindu secara berimbang
yaitu tatwa, susila dan upacara. Jangan mereka didorong-dorong untuk
perlombaan pameran upacara tanpa diimbangi dengan penerapan tatwa dan
susila.
Mengapa upacaranya saja yang
ditonjolkan? Karena ada oknum-oknum tertentu yang diuntungkan melalui
upacara. Semakin meriah upacara itu semakin besar untungnya.
Ditulis oleh: Jero Mangku Wayan Swena