HINDU SOPOYONO: Tri Hita Karana
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Sabtu

Tri Hita Karana

  1. Latar belakang historis.
    Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.

  2. Pengertian.
    Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
    1. Manusia dengan Tuhannya.
    2. Manusia dengan alam lingkungannya.
    3. Manusia dengan sesamanya.

  3. Unsur- unsur Tri Hita Karana.
    1. Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
      1. Sanghyang Jagatkarana.
      2. Bhuana.
      3. Manusia
    2. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:

      Bagawad Gita (III.10)
      Artinya :
      Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

      Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:
      Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
      Praja = Manusia

  4. Penerapan Tri Hita Karana.
    1. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut
      1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
      2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
      3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.

    2. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:

      1 Parhyangan
      Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat
      Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga
      Di tingkat keluarga berupa pemerajan
      atau sanggah
      2 Pelemahan
      Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
      Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung
      Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
      3 Pawongan
      Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
      Untuk di desa adat meliputi krama desa adat
      Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga


  5. Nilai Budaya.
    Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.
  6. Konsep Tri Hita Karana
    Tri hita karana adalah tiga sumber yang mendatangkan keselamatan atau kebaikan (Ragam Istilah Hindu, Tim Bali Age, 2011:) yakni hubungan baik antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), antara manusia dengan manusia (pawongan), antara manusia dengan lingkungan (palemahan). Perpaduan ketiga aspek keseimbangan merupakan sistem keharmonisan hidup (lahir dan batin). Tri hita karana didasarkan pada keyakinan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan, dipelihara dan dipralina (dilebur) oleh Tuhan sebagai Tri Murti (Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa) yang mempunyai kekuatan Tri Kona yakni upeti (penciptaan) oleh dewa Brahma, setiti (pemelihara) oleh Dewa Wisnu, dan pralina (pelebur) oleh dewa Siwa. Siklus lahir (upeti), hidup (setiti), dan pralina (mati) terus berjalan (reinkarnasi/punarbawa) hingga ciptaan kembali menyatu dengan penciptanya. Berbagai konsep lain yang mendukung tri hita karana antara lain: Catur Marga/Yoga, Dewata Nawa Sanga, Dewi-Dewi sebagai sakti dari Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa (seperti Dewi Saraswati, Dewi Uma/Sri, dan Dewi Parwati), Panca Sarada (kepercayaan terhadap Tuhan, atman, karma pala, samsara, dan moksa), tiga kerangka dasar masyarakat Bali Hindu (tatwa, susila, upakara), Tat wam Asi, Tri Kaya Parisuda, dan Catur Purusartha. Sukardana (2010) lebih jauh menjabarkan keterkaitan ketiga kerangka dasar tersebut terhadap hampir semua konsep penataan kehidupan masyarakat Bali Hindu.

    Konsep tri hita karana mengakomodasi pandangan sains postmodern sebagai kritik terhadap sains modern (Barat). Sains modern memandang sains bebas nilai (kearifan budaya), lebih mengarah pada ekploitasi, dan telah banyak berdampak pada ketidakseimbangan dengan lingkungan. Capra (1982) mengkritik pengembangan energi nuklir yang lebih banyak berdampak merugikan. Sementara sains postmodern memandang bahwa persepsi orang terhadap alam (sains) tidak terlepas dari konteks budayanya (Best & Kellner dalam Boje, 1999).