Endang Widyastuti
Abstract
Archaeological remains of the Lampung
region is known comes from the Hindu-Buddhist influence of a stele.
Inscriptions found in Lampung were written in capital letters Pallawa
and some are using letters Javanese version. Old Javanese-lettered
inscription found in the area of Lampung is Hujunglangit Inscription and
Tanjung Raya. The Hujunglangit inscription related to the determination
as sima for the maintenance of the shrine. On this basis it is known
that the people who live in the area are a religious community. This is
indicated by the existence of several pieces of stone that indicates the
existence of former human workmanship. It is estimated that the rock
fragments are the remains of a sacred building. Meanwhile, the contents
of Tanjung Raya Inscription yet known but see the land location Tanjung
Raya Inscription, which is agricultural land that is fertile areas since
possibilities past a residential area.
Kata kunci: Prasasti Hujunglangit, Prasasti Tanjung Raya, bangunan suci, kondisi masyarakat.PENDAHULUAN
Perkembangan sejarah budaya masyarakat
Lampung telah melalui beberapa babakan sejak dari masa prasejarah,
klasik, hingga masa sekarang sebagaimana yang umum terjadi di seluruh
Indonesia. Babakan sejarah budaya masa klasik menunjuk pada suatu
babakan di mana budaya masyarakat Indonesia mendapat pengaruh budaya
India (agama Hindu-Buddha). Secara umum, masa klasik di Indonesia
berlangsung setelah masa prasejarah. Di Lampung, pada masa klasik hampir
tidak ditemukan adanya pusat kekuasaan berupa kerajaan yang identik
dengan pusat peradaban. Beberapa sumber yang ada hanya sedikit sekali
yang bisa mengungkap pusat budaya klasik di Lampung.
Munculnya sebutan Lampung mungkin masih
relatif baru. Asumsi ini didasari pada kenyataan bahwa jarang didapatkan
sumber sejarah masa klasik yang menyebut Lampung. Sumber sejarah yang
menyinggung keberadaan Lampung adalah Nagarakrtagama dan Amanat
Galunggung. Prapanca pada pupuh XIII dan XIV menyebut daerah-daerah
Melayu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah-daerah itu
adalah Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau,
Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Parlak,
Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus (Muljana, 1979:
146 dan 279). Menurut pemberitaan dalam Nagarakrtagama, Lampung
termasuk wilayah Kerajaan Melayu. Sumber sejarah lebih muda yang
menyebut Lampung adalah Amanat Galunggung (kropak 632). Naskah ini
terdiri 6 lembar atau 13 halaman, ditulis dengan menggunakan huruf dan
bahasa Sunda kuna. Isi naskah berupa ajaran hidup yang diwujudkan dalam
bentuk nasehat-nasehat. Dalam hal ini adalah nasehat Rakeyan Darmasiksa
(1175 – 1297) kepada puteranya yang bernama Sang Lumahing Taman, beserta
cucu, cicit, dan keturunannya. Pada pupuh II (4) disebutkan … jaga
dapetna pretapa dapetna pegengeun sakti, beunangna (ku) Sunda, Jawa,
Lapung, … (… waspadalah kemungkinan direbutnya kemuliaan dan pegangan
kesaktian oleh Sunda, Jawa, Lampung…). Selanjutnya pada pupuh III (3)
disebutkan …jaga beunangna kabuyutan ku Jawa, ku Baluk, ku Cina, ku
Lapung, ku sakalih… (…cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh
Baluk, oleh Lampung, oleh yang lainnya…) (Danasasmita, 1987). Kedua
sumber sejarah tersebut menggambarkan bahwa pada masa Kerajaan Majapahit
(abad ke-13 – 15) hingga masa Kerajaan Sunda (abad ke-10 – 16)
masyarakat Lampung sudah berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan yang
sudah mendapat pengaruh budaya India.
Gambaran sebagian masyarakat Lampung
pada abad ke-16 juga diceritakan oleh berita asing dari Portugis.
Perjalanan Tomé Pires dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga
1515 memberikan gambaran tentang keadaan dua lokasi di Lampung yaitu
Tulangbawang dan Sekampung (Cortesão, 1967: 158 – 159). Tulangbawang
merupakan lokasi yang berbatasan dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian
masyarakat Tulangbawang masih kafir atau penyembah berhala. Daerah ini
merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan
buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan
dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian
dilakukan perdagangan antar pulau. Perjalanan dari Tulangbawang ke Sunda
menyeberangi lautan dalam sehari sedangkan ke Jawa memerlukan waktu dua
hari.
Sekampung merupakan daerah yang memiliki
sumber daya sangat melimpah. Perdagangan dilakukan dengan Sunda dan
Jawa. Barang dagangan meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan
lada. Bahan makanan yang diperdagangkan berupa beras, daging, ikan,
minuman keras (wines), dan buah-buahan. Penguasa (pate) dan masyarakat
Sekampung masih kafir. Perjalanan dari Sekampung menyeberang ke Jawa
dengan menggunakan perahu (lancharas) dapat ditempuh dalam waktu tiga
hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari.
Selain berdasarkan sumber sejarah,
budaya masa klasik di Lampung juga ditunjukkan oleh adanya beberapa
sumber arkeologis. Salah satu bukti keberadaan budaya masa klasik di
daerah Lampung adalah adanya beberapa prasasti. Prasasti Palas Pasemah
yang ditemukan di tepi Way Pisang, Kalianda, Lampung Selatan dan
Prasasti Bungkuk yang ditemukan di Lampung Timur menunjukkan bahwa
Lampung pada masa klasik merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya
(Purwanti, 1995: 98, Boechari, 1979: 19 – 40). Prasasti Batu Bedil di
Kabupaten Tanggamus juga menunjukkan bahwa Lampung merupakan wilayah
Sriwijaya. Pada salah satu baris Prasasti Batu Bedil berisi mantra agama
Buddha (Soekmono, 1985: 49 – 50). Berdasarkan hal itu, dilihat dari
aspek keagamaan, Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di kawasan Asia
Tenggara. Ketiga prasasti tersebut dituliskan dengan menggunakan huruf
Pallawa (Utomo, 2007: 8 – 10). Selain ketiga prasasti tersebut di daerah
Lampung juga ditemukan prasasti yang berhuruf Jawa Kuna. Prasasti
tersebut di antaranya adalah Prasasti Hujunglangit dan Prasasti Tanjung
Raya. Kedua prasasti tersebut menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Berdasarkan keberadaan kedua prasasti tersebut maka dalam tulisan ini
akan dikaji bagaimana kondisi masyarakat Lampung pada masa yang sezaman
dengan prasasti tersebut.
GAMBARAN OBJEK
Situs arkeologi yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Situs Hujunglangit dan Situs Tanjung Raya. Kedua situs tersebut secara administratif berada di Kecamatan Sukau, Lampung Barat. Situs Hujunglangit atau disebut juga Situs Harakuning. Situs ini secara administratif berada di dusun Harakuning, Desa Hanakau. Lokasi situs berada pada ordinat 104°04’48,1” Bujur Timur dan 04°59’38” Lintang Selatan, pada ketinggian 912 meter di atas permukaan laut (Berdasarkan pembacaan GPS). Lokasi situs berada di suatu lahan datar yang ditanami labu siam dan kopi.
Dalam kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung pada tahun 1995 diketahui bahwa situs Hujunglangit berada di suatu lahan yang oleh penduduk setempat disebut sebagai “pulau”. Hal ini disebabkan karena lokasi tersebut berupa gundukan tanah yang dibatasi oleh dua batang parit di sebelah utara dan selatan. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah Prasasti Hujunglangit. Prasasti Hujung Langit berada di sebelah utara lahan. Tempat kedudukan prasasti berada pada suatu teras berundak yang berjumlah tiga undakan (Agus, 1995).
Sekarang ini prasasti berada pada suatu lahan yang sedikit lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Di sekeliling lahan terdapat cekungan melingkar yang membentuk seperti parit. Prasasti berada di lahan yang berpagar kawat dengan ukuran 95 m2, dengan pintu masuk berada di sisi selatan. Untuk melindungi prasasti telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Selain prasasti, di dalam cungkup terdapat satu arca megalitik dan beberapa potongan batu yang menunjukkan adanya bekas pengerjaan oleh manusia. Diperkirakan potongan-potongan batu tersebut merupakan sisa suatu bangunan.
Prasasti Hujung Langit dipahatkan pada sebongkah batu andesit yang berbentuk cenderung kerucut dengan bagian atas lebih kecil daripada bagian bawah. Sebagian dari batu prasasti ini terpendam di dalam tanah. Prasasti terdiri dari 18 baris tulisan yang digoreskan pada permukaan batu yang menghadap ke utara. Kondisi tulisan sudah sangat aus. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh L.C Damais, NJ Krom, dan Boechari diketahui bahwa prasasti tersebut berhuruf Jawa Kuna dan berbahasa Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan bahwa prasasti tersebut berasal dari sekitar abad ke-10 M. Damais yang melakukan pembacaan prasasti berhasil mengetahui sebagian kalimat yang tertulis dalam prasasti tersebut sebagai berikut (Damais, 1995: 33):
// swasti sri sakalawarsatita 9– margasiramasa. tithi nawami suklaspaksa. wa– wara. Wuku kuninan……
(// Selamat, tahun Saka (yang berlalu 91-, bulan Margasira, tanggal 9 paro terang, hari Was, wuku kuningan)
Setelah baris ketiga ini hanya beberapa
kata yang dapat terbaca yaitu pada baris ke-4 terdapat kata…
tatakala….satanah sahutan…., baris ke-7 terbaca kata tatkala punku
haji…….sri haridewa….., dan pada baris ke-12 di Hujunglangit. Keyakinan
bahwa prasasti ini menggunakan bahasa Melayu adalah adanya kata penunjuk
lokasi di (Damais,1995:32)
Berdasarkan beberapa kata yang masih
dapat terbaca diduga bahwa isi prasasti ini adalah mengenai penetapan
sebidang tanah/hutan di Hujung Langit sebagai sima oleh Pungku Haji
Yuwarajya Sri Haridewa untuk dipergunakan membiayai pemeliharaan suatu
bangunan suci (Utomo, 2007: 7). Selain 18 goresan membentuk huruf
tersebut pada bagian atas prasasti terdapat goresan membentuk pisau
belati. Pisau belati tersebut digambarkan terhunus dengan mata belati
menghadap ke kanan (Damais, 1995: 29).
Situs Tanjung Raya. Situs ini secara
administratif berada di Desa Tanjung Raya. Lokasi situs berada pada
ordinat 104°03’21,8” BT dan 05°00’04,7” LS, pada ketinggian 904 m dpl.
Lahan situs sekarang ini dipergunakan oleh penduduk untuk menanam kopi
dan sayur-sayuran seperti kol, wortel, sawi dan sayur-sayuran lain.
Lahan dimiliki oleh penduduk dan disewakan kepada para petani penggarap.
Para petani penggarap sebagian besar adalah pendatang dari Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Tinggalan arkeologis yang terdapat di situs ini adalah
Prasasti Tanjung Raya.
Situs Tanjung Raya berada pada lahan
datar dengan luas sekitar 25 ha. Lahan tersebut dikelilingi lahan lebih
rendah yang sekarang difungsikan sebagai sawah. Pada lahan lebih rendah
tersebut pada beberapa bagian terdapat kolam dengan mata air. Lebar
lahan yang lebih rendah tersebut sekitar 20 – 25 m, sedangkan beda
tinggi sekitar 15 m. Dahulu bagian yang lebih rendah tersebut dipenuhi
air, sehingga masyarakat sekitar menyebut lahan tempat beradanya
prasasti sebagai “pulau cakhmumung”, yang artinya “pulau menggantung”.
Bagian yang diperkirakan sebagai pintu
masuk berada di sisi Barat Laut. Berdasarkan pengamatan permukaan di
bagian utara, timur, dan selatan lahan banyak ditemukan tinggalan
artefaktual berupa fragmen tembikar dan keramik. Sedangkan di bagian
barat lahan temuan fragmen tembikar dan keramik sangat sedikit. Selain
temuan artefaktual juga terdapat batu datar dan batu berlobang. Prasasti
Tanjung Raya berada pada sebuah lahan datar di sisi Utara. Prasasti
berada pada lahan yang berpagar kawat berduri. Untuk melindungi prasasti
telah dibuatkan cungkup oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala
Serang. Cungkup tersebut berupa bangunan terbuka dengan atap seng. Pintu
masuk berada di sisi sebelah selatan.
Prasasti terdiri dari 2 bongkah batu,
sehingga disebut dengan Prasasti Tanjung Raya 1 dan Prasasti Tanjung
Raya 2. Prasasti Tanjung Raya 1 berupa sebongkah batu datar berbentuk
cenderung bulat. Goresan terdapat di bagian permukaan atas. Keadaan
huruf sudah sangat aus sehingga sangat sulit untuk dibaca. Berdasarkan
pengamatan oleh Hasan Djafar dan Boechari disimpulkan bahwa prasasti
tersebut terdiri dari 8 baris dengan huruf Jawa Kuna. Bentuk huruf
cenderung persegi. Berdasarkan paleografinya prasasti tersebut
diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-10 M. Pada batu ini juga
dipahatkan bingkai menyerupai segi empat dan terdapat sebuah bejana
dengan tepian melengkung dan dari dalamnya keluar sehelai daun (Winarto,
ed, 2006: 8). Selain itu di bagian bawah tulisan terdapat goresan yang
membentuk seekor binatang menyerupai gajah tetapi mempunyai tanduk (Tim
penelitian, 2009).
Prasasti Tanjung Raya 2 dipahatkan pada
sebongkah batu tegak. Goresan berada pada permukaan batu yang menghadap
ke Utara. Prasasti berisi satu baris tulisan dan pahatan berbentuk pisau
dengan mata pisau mengarah ke atas. Tulisan yang terpahat pada prasasti
tersebut berhuruf Jawa Kuna dengan bentuk agak membulat dan berbahasa
Melayu Kuna. Berdasarkan paleografinya diperkirakan prasasti ini berasal
dari abad ke-14 M. Tulisan pada prasasti Tanjung Raya 2 berbunyi “Batu
Pahat” sehingga prasasti inipun disebut dengan Prasasti Batu Pahat
(Winarto, ed, 2006: 9).
KEHIDUPAN MASYARAKAT
Masyarakat yang tinggal di Lampung
merupakan pendatang dari berbagai daerah. Salah satu legenda mengenai
asal-usul masyarakat Lampung menceritakan bahwa nenek moyang orang
Lampung berasal dari Sungai Tatang dekat Bukit Siguntang, Sumatera
Selatan. Salah seorang moyang yang bernama Naga Berisang meninggalkan
kampung di Sungai Tatang mengembara mencari penghidupan hingga sampai di
sekitar Danau Ranau. Keturunan Naga Berisang di bawah pimpinan Poyang
Sakti pindah ke Cinggiring, Sekala Berak (Warganegara, 1994: 2).
Mengenai penghunian kawasan Sekala Berak, tradisi lisan masyarakat juga
menyebutkan bahwa pada masa itu dikenal empat pemimpin yaitu Empu
Cangih, Empu Serunting, Empu Rakihan, dan Empu Aji Saka. Disebutkan
bahwa keempat empu itu merupakan penguasa yang masing-masing mempunyai
wilayah kekuasaan sendiri-sendiri. Sistem penguasaannya dalam bentuk
semacam pemerintahan yang disebut dengan istilah keratuan*)
Berkaitan masalah masyarakat yang
mendiami Lampung, Olivier Sevin (1989) pernah melakukan kajian yang
hasilnya menyimpulkan bahwa masyarakat Lampung dapat dikelompokkan dalam
dua kelompok besar yaitu masyarakat asli dan pendatang. Masyarakat yang
diperkirakan sebagai penduduk asli adalah orang Pubian yang menempati
kawasan antara Padangratu, Kota Agung, Teluk Betung, serta wilayah
selatan Gunung Sugih di mana kawasan ini dibelah Way Sekampung.
Masyarakat pendatang terdiri dari empat
gelombang migran yaitu gelombang Sekala Berak, gelombang Banten,
gelombang Palembang, dan kolonisasi. Masyarakat Sekala Berak sebetulnya
sulit dikatakan sebagai masyarakat pendatang. Dalam beberapa tradisi
lisan, masyarakat Sekala Berak merupakan masyarakat dari Pagarruyung
yang pindah dan menetap di sekitar Bukit Pesagi hingga tepian Danau
Ranau. Sekitar awal abad ke-14 kawasan Sekala Berak mengalami tekanan
populasi tinggi. Hal itu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya
gerakan migrasi ke bagian tengah dan selatan Lampung. Selanjutnya
gelombang migrasi dari Banten berlangsung pada abad ke-17 demikian juga
gelombang Palembang. Sedangkan Kolonisasi dari Jawa terjadi pada abad
ke-19. Hipotesis Sevin ini masih perlu diuji. Menurut tradisi sejarah
lisan masyarakat, emigran yang masuk ke Lampung juga berasal dari
Pagaruyung, Bengkulu, Jambi, masyarakat Melayu, dan Bugis (Warganegara,
1994: 3–13; Hadikusuma, 1989: 44–52).
Sebelum terjadi gelombang migrasi dari
Banten dan Kolonisasi dari Jawa, pada sekitar abad ke-17 – 18 masyarakat
yang berdiam di Lampung diperkirakan sudah membentuk suatu sistem
pemerintahan persekutuan adat (keratuan) berdasarkan buay (keturunan)
yang disebut paksi (kesatuan buay inti atau clan) dan marga (kesatuan
dari bagian buay atau jurai dalam bentuk kesatuan kampung atau suku).
Pemerintahan persekutuan adat ini terdiri dari dua sistem yaitu pepadun
dan seibatin (Hadikusuma, 1989: 157). Meskipun sudah terbentuk semacam
sistem pemerintahan, masyarakat Lampung tidak pernah dapat memusatkan
kesatuan kerabatnya pada satu kesatuan tempat yang besar (perkampungan).
Hal ini terjadi karena ada kaitannya dengan sistem matapencaharian
sebagai peladang. Ladang tempat bertanam lada diusahakan secara
terpencar dengan sistem umbulan. Lokasi umbulan ini pun dalam satu
periode tertentu berpindah menyesuaikan kondisi lahan. Apa yang disebut
keratuan secara fisik hanya merupakan tempat kedudukan Punyimbang yang
tertua dari keturunan yang tertua. Punyimbang yang tertua ini
berkedudukan sebagai pemimpin buay (keturunan) dan pemimpin bumi
(penguasa wilayah). Punyimbang tertua pemegang status sosial tertinggi
di antara masyarakat kelompoknya. Punyimbang dari keturunan kedua
bertindak sebagai kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan kelompok
lebih tua pemegang status sosial tertinggi. Punyimbang ketiga dari
keturunan ketiga bertindak sebagai kelompok pelaksana ekonomi, pengatur
pertanian dan perniagaan. Punyimbang-punyimbang yang datang untuk
bergabung yang bukan merupakan kerabat tidak punya kedudukan dalam
pengaturan tetapi sebatas mengatur kerabat masing-masing. Masyarakat
Lampung dalam berserikat dan berkumpul dalam satu kelompok akan
menganggap lebih tua, menghormati, dan menempatkan kedudukan tertinggi
kepada punyimbang asal keturunan yang disebut punyimbang marga atau
punyimbang paksi (Hadikusuma, 1989: 7 – 8). Kondisi masyarakat seperti
itu berlangsung sejak zaman sebelum Islam.
Pada masa klasik yaitu masa di mana
pengaruh budaya Hindu-Buddha dari India sangat kuat, di Lampung tidak
ada bukti adanya suatu kerajaan (kingdom). Beberapa prasasti yang
ditemukan di Lampung kebanyakan merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh
Kerajaan Sriwijaya.
Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran,
mungkin kawasan Lampung menjadi wilayah kekuasaan kerajaan di Jawa. Di
Dusun Harakuning, Desa Hanakau, terdapat Prasasti Hujunglangit. Damais
memastikan prasasti tersebut berasal dari tahun 919 Ç atau 997 M.
Pengaruh Jawa yang tampak dalam sistem penanggalannya, oleh Damais
dihubungkan dengan ekspedisi Jawa dalam melawan Sriwijaya yang menurut
berita Cina terjadi pada tahun 992 – 993 M. Damais menarik kesimpulan
bahwa pengaruh Jawa tersebut merupakan hasil pendudukan Jawa sebagaimana
dilaporkan dalam sumber Cina (Guillot, et all., 1996: 116)
.
Pada sekitar abad ke-10 tersebut Jawa
berada di bawah kekuasaan raja Dharmawangsa Teguh dari Kerajaan Mataram
yang berpusat di Jawa Timur. Pada masa itu terjadi penyerangan Kerajaan
Sriwijaya oleh Kerajaan Jawa (Sumadio, 1990: 173). Politik ekspansi yang
dilakukan oleh Dharmawangsa Teguh juga merambah daerah Bali (Sumadio,
1990: 171).
Prasasti Hujunglangit berisi mengenai
penetapan hutan di Hujunglangit sebagai sima supaya dipergunakan untuk
pemeliharaan bangunan suci. Prasasti tersebut menggunakan huruf Jawa
Kuna. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara Jawa dan Lampung.
Penetapan suatu daerah menjadi sima tentunya dengan alasan bahwa di
tempat tersebut terdapat suatu bangunan suci. Di sekitar prasasti
Hujunglangit ditemukan sejumlah potongan batu yang menunjukkan bekas
pengerjaan oleh manusia. Kemungkinan potongan batu tersebut merupakan
bekas suatu bangunan suci yang dimaksud dalam prasasti tersebut. Dengan
demikian masyarakat yang bermukim di lokasi tersebut merupakan suatu
kelompok masyarakat religius.
Isi Prasasti Tanjung Raya sampai
sekarang belum diketahui. Namun berdasarkan pengamatan permukaan
ditemukan banyak fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai
bekas peralatan rumah tangga. Selain itu tempat keberadaan Prasasti
Tanjung Raya merupakan lahan yang subur dengan sumber air yang melimpah,
sehingga memungkinkan lokasi tersebut sebagai pemukiman masyarakat.
PENUTUP
Prasasti Hujung Langit merupakan
prasasti penetapan daerah Hujung Langit menjadi sima. Hasil dari daerah
tersebut dipergunakan untuk memelihara suatu bangunan suci. Dengan
demikian diketahui bahwa masyarakat yang bermukim di daerah tersebut
merupakan masyarakat religius. Hal itu didukung dengan adanya
potongan-potongan batu yang menunjukkan adanya bekas-bekas pengerjaan
oleh manusia. Potongan-potongan batu tersebut kemungkinan merupakan
sisa-sisa suatu bangunan suci.
Sementara itu isi prasasti Tanjung Raya
sampai sekarang belum dapat diketahui. Namun berdasarkan adanya temuan
artefaktual berupa fragmen keramik dan tembikar yang menunjukkan sebagai
peralatan rumah tangga sehari-hari, kemungkinan daerah tersebut
merupakan kawasan pemukiman masyarakat.
*) Abdullah A. Soebing, B.A. (1988: 9)
menyebutkan bahwa pada mulanya keempat pemerintahan yang ada di Lampung
disebut dengan istilah kedatuan. Istilah keratuan mulai dipakai sejak
Puyang Lunik bersama Sai Sangkan mendirikan perkampungan di Pugung,
muara Way Sekampung yang disebut Keratuan Di Pugung. Keturunan Puyang
Lunik mengangkat dirinya menjadi Ratu di kampungnya. Orang Abung dan
Pubian mendirikan adat masing-masing dan tidak menyebut dirinya
Punyimbang dengan gelar Minak melainkan dengan sebutan Ratu. Hilman
Hadikusuma (1989: 157) dan Marwansyah Warganegara (1994: 4) berpendapat
bahwa sejak pada masa awal pemerintahan di Lampung sudah disebut dengan
istilah keratuan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 1995. Laporan Hasil Penelitian
Lingkungan dan Tinggalan Arkeologis di Situs Klasik Harakuning, Lampung
Barat, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Boechari, 1979. An Old Malay Inscription of Sriwijaya At Palas
Pasemah (South Lampung). Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, hlm. 19
– 40. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.Cortesão, Armando. 1967. The Suma Oriental of Tome Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Damais, Louis-Charles. 1995. Epigrafi dan Sejarah Nusantara. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Danasasmita, Saleh. 1987. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Guillot, et all., 1996. Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932 – 1526. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional – EFEO.
Hadikusuma, Hilman. 1989. Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Muljana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Purwanti, Retno. 1995. Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2, hlm. 98 – 103. Bandung Balai Arkeologi Bandung
Sevin, Olivier. 1989. History and Population. Dalam Transmigration, hlm. 13 – 123. Jakarta: ORSTOM – Departemen transmigrasi Republik Indonesia.
Soekmono, R. 1985. Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang. 1990. Jaman Kuno. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakar¬ta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN Balai Pustaka.
Tim Penelitian. 2009. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi tentang Budaya Masa Pengaruh Hindu-Buddha di Kawasan Lampung Tahap 2. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Utomo, Bambang Budi. 2007. Prasasti-Prasasti Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional
Warganegara, Marwansyah. 1994. Riwayat Orang Lampung.
Winarto, Bambang Sigit (ed,), 2006. Prasasti Koleksi Museum Lampung. Bandar Lampung: UPTD Museum Negeri Provinsi Lampung “Ruwa Jurai”