Warga Sesalkan Pemerintah
PERANG susulan antar desa di Lampung Selatan (Lamsel) kemarin membuat Lamsel makin berdarah-darah. Korban tewas menjadi 12 orang.
Ratusan rumah dan dua mobil milik polisi ludes dibakar. Patut
disayangkan, hingga hari ketiga perang berbau SARA tersebut belum bisa
dihentikan.
Perang
melibatkan belasan ribu warga asli Lamsel dan ribuan warga Bali di
Kecamatan Waypanji kemarin berlangsung dari pukul 13.00 sampai 17.00
WIB. Belasan ribu massa gabungan warga Desa Agom baru meninggalkan Desa Balinuraga sekitar pukul 17.00 WIB setelah berhasil memporak-porandakan pemukiman warga Bali tersebut.
Bahkan dari informasi yang dihimpin di lokasi, akibat perang lima jam itu dari kubu warga Bali meninggal 9 (sembilan) orang. Sementara
dari kubu warga Desa Agom dua orang luka serius. Tragisnya, diantara
korban tewas yang merupakan warga Balinuraga itu ada yang kepalanya
terputus dari badannya.
Hingga berita ini diturunkan, baru dua orang tewas yang
teridentifikasi. Yakni, Celang (45) dan Wan Putu (41) keduanya warga
Balinuraga. Sementara empat korban lainya belum diperoleh identitasnya
meski dipastikan warga yang tewas tersebut berasal dari Desa Balinuraga.
Sementara korban dari kubu warga asli Kalianda Ijal (35) warga Negeri
Pandan Kalianda mengalami luka bacok kepala dan Adi (30) warga
Bandardalam Sidomulyo luka bacok pada bagian betis kiri.
Sebelum
pecah perang pecah, massa warga Agom berkumpul di Lapangan Dusun
Waringin Harjo, Desa Agom, Kecamatan Kalianda, sekitar pukul 10.00 WIB.
Massa bekumpul di sana hingga pukul 13.00 WIB. Dengan membawa berbagai
jenis senjata tajam (sajam), mulai dari celurit, bambu runcing, pedang
dan golok, massa kemudian bergerak maju ke arah Desa Balinuraga. Namun,
sekitar pukul 13.40 wib, massa tertahan di Desa Patok, Kecamatan
Waypanji oleh puluhan personel polisi.
Namun
tidak berlangsung lama. Hanya sekitar 15 menit dan massa kembali
bergerak. Sekitar pukul 14.45 WIB, massa kembali tertahan di perbatasan
antara Desa Sidoharjo dan Sidoreno oleh ratusan personel gabungan
Dalmas dan Brimob. Disana, massa sempat bersitegang dengan aparat.
Bahkan, gabungan personel Polri yang langsung dipimpin Kapolres Lamsel,
AKBP Tatar Nugroho sempat melepaskan gas air mata untuk menghadang
massa.
Namun,
massa yang sudah bertekad bulat menyerang Desa Balinuraga terus maju.
Mereka kemudian berpencar dan menerobos masuk ke Desa Sidoreno dan
Balinuraga melalui pematang sawah dan jalan-jalan sempit desa itu.
Aparat Kepolisian dan gabungan TNI tidak dapat berbuat banyak
menghadang massa. Karena jumlah massa yang mencapai belasan ribu.
Sementara, sekitar seribuan massa sudah siap siaga di Desa Sidoreno dan
Balinuraga dengan membawa berbagai jenis sajam.
Melihat
rumah yang terbakar sudah dimasuki massa, mereka menyambutnya dengan
senjata. Sehingga, bentrok tidak dapat terelakkan. Perang mulai terjadi
di sekitar pematang sawah. Selain saling hantam, massa juga merusak
rumah dan membakar rumah warga dengan melemparinya dengan bom ikan.
Akibatnya, ratusan rumah terbakar dalam kejadian itu, Penyerangan yang
hanya berlangsung sekitar satu setengah jam itu mengakibatkan Desa
Sidoreno dan Balinuraga luluh lantak. Korban berjatuhan dan ratusan
rumah terbakar.
Kapolres
Lamsel, AKBP Tatar Nugroho ditemui di lokasi kejadian belum dapat
memberikan keterangan resmi. Pihaknya baru akan mengevakuasi
korban. “Nanti saja, kami masih menyelidiki dan mendata jumlah korban.
Termasuk mendata rumah yang terbakar,” kata Tatar singkat.
Sebelumnya bentrok massa terjadi di Lamsel. Tiga warga tewas, dan tiga
lainnya luka parah dari kubu Lampung dalam bentrok yang terjadi di Desa
Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Lamsel, Minggu (28/10) sekitar pukul 10.00
WIB. Korban tewas dalam kejadian itu adalah Marhadan (35), warga Dusun
Jembatbesi Desa Gunung Terang Kecamatan Kalianda. Ia tewas karena
mengalami luka robek pada leher dan paha sebelah kanan, robek kepala
bagian belakang dan luka robek bagian pinggang sebelah kiri.
Kemudian
Jahya (30) warga Desa Jati Permai Kecamatan Kalianda yang luka robek
pada muka, perut dan paha sebelah kiri dan luka robek tak beraturan pada
bagian punggung. Lalu, Alwin (35 Solihin warga Desa Sukaraja Tajimalela
Kecamatan Palas, luka robek pada bagian muka, kepala bagian belakang
dan bagian dada.
Sementara,
korban luka-luka yaitu Ipul (33) warga Bandardalam Tengah Kecamatan
Sidomulyo, ia mengalami luka robek pada paha kanan dan luka temak bagian
betis kanan. Mukmin (25) warga Desa Sukaratu Kecamatan Kalianda Lamsel,
mengalami luka robek tangan kanan dan betis kanan, Ramli (51) warga
Desa Gunung Terang Kecamatan Kalianda mengalami luka cacak tak beraturan
pada punggung dan perut.
Menurut salah seorang warga Sidoreno, Kecamatan Waypanji, Lamsel, Amri (34), pecah perang akibat
apatis dan abainya jajaran tokoh dan bukti mediasi yang gagal dari
pemerintah daerah. “Mana aparat, apa peran mereka kok desa kami jadi
begini,” katanya pada Editor dengan sedih, kemarin.
Konflik
yang sudah berlangsung tiga hari, lanjutnya, seharusnya bisa dicegah
dengan membuat kanalisasi dan konsentrasi massa. “Tiba- tiba, kami rindu
tipikal pemimpin yang bukan hanya mengaku- ngaku tokoh, tapi benar-
benar mengayomi. Sekarang mana tokoh kita,” ujarnya.
Hal
senada diungkapkan Sutris, tokoh pemuda Sidoharjo, Waypanji itu
menyesalkan gagalnya peran pemerintah dan jajaran tokoh setempat dalam
mengendalikan warganya. “Jika mereka mampu mengendalikan warganya, pasti
tak terjadi konflik berdarah yang membuat kita semua sedih dan dicekam
ketakutan,” terangnya sambil berkaca- kaca menyaksikan kepulan asap
hitam dari Desa Balinuraga.
Bunyi
teriakan dan suara- suara letusan itu, terdengar sayup-sayup dari
rumahnya yang terletak di Dusun Surabaya Desa Sidoharjo. “Padahal saya
dengar dari teman- teman di Agom, ribuan massa mulai berkumpul di
lapangan Dusun Waringin Harjo sejak jam 08.00 dan baru menyerang dengan
berjalan sekitar jam 12.00 artinya tak ada upaya menghalau penyerangan
itu dari tokoh atau pemerintah,” katanya.
Lihat
saja, lanjutnya, aparat sebanyak itu hanya jadi tukang foto dan tak
mampu membendung amukan massa. “Dan lagi, mana ini, kemana mereka yang
sudah jadi para pemimpin yang dulu waktu mau pilkada, pemilu sibuk
kampanye dan tebar pesona,” tukasnya.
Diperlukan Rekonstruksi Sosial
KONFLIK berbau
SARA yang terjadi di Waypanji, Lampung Selatan, akibat adanya
ekslusifitas. Karenanya perlu dilakukan rekonstuksi sosial agar tidak
terjadi lagi pertikaian buntut ekslusifitas tersebut.
Demikian
diungkapkan akademisi yang juga sosiolog dari Unila Pairulsyah ketika
diminta pandangannya atas perang di Lamsel, kemarin. Menurutnya, dari
perspektif sosiologis, konflik yang terjadi karena telah terbentuknya
pola masyarakat ekslusif pasca orde baru, yang kemudian terjadi
masyarakat ingroup hingga berujung pada konflik SARA.
“Konflik
terjadi karena telah terbentuknya masyarakat yang ekslusif. Masyarakat
ekslusif itu terbentuk pada rezim orde baru. Keesklusifan masyarakat ini
yang memicu terjadinya konflik SARA seperti yang terjadi di Lampung
Selatan,” papar Pairulsyah.
Ditambahkan,
konsep rekontruksi sosial merupakan suatu rancangan untuk membentuk
suatu masyarakat yang hidup sejahtera, damai secara berdampingan. “Untuk
melaksanakan rekonstruksi sosial tersebut perlu dibuatkan suatu wadah
antara masyarakat yang berkonflik kemudian dibuatkan suatu kegiatan
bersamaan. Tidak terbentuk lagi masyarakat ekslusif dan terciptanya
masyarakat yang terbuka,” tandasnya.
Pairulsyah
menyebut konflik serupa juga pernah terjadi di Lamsel, namun karena
akar permasalahan konflik itu tidak selesai maka konflik terulang lagi.
Karena dampak dari konflik itu ialah psikologis, rasa kecewa, dendam dan
ketakutan maka diperlukan keseriusan dari pihak kepolisian melakukan
pembinaan lansung kepada masyarakat.
Pemerintahan
Kabupaten Lamsel, tokoh mastarakat, dan kepolisian harus mengajak
masyarakat yang berkonflik berdamai dengan konsep muari yakni konsep
berdamai dengan tidak saling mencari kesalahan namun lebih mnegutamakan
prinsip win-win solusiton.
Polisi Evakuasi Warga Balinuraga
JAJARAN kepolisian
tadi malam berhasil mengosongkan Desa Balinuraga, Waypanji. Warga yang
hingga tadi malam masih bertahan dievakuasi untuk mencegah terjadinya
serangan susulan dari massa Desa Agom, Kalianda. Sedikitnya tercatat 192 warga Balinuraga, tadi malam diboyong ke Sekolah Polisi Negera (SPN) Kemiling, Bandarlampung.
Kabid Humas Polda Lampung AKBP Sulistyaningsih menjelaskan, warga
Balinuraga diangkut menggunakan kendaraan milik polisi. Sesampainya di
SPN mereka terlihat saling bergerombol. Mereka mengaku trauma dengan
kejadian tiga hari terakhir. Mengingat kejadian serupa bukan kali
pertama.
Ditambahkan
Sulistyaningsih, untuk mencegah agar bentrok tidak meluas, Polda
Lampung menambahkan 500 personel yang tergabung dari kepolisian Banten
dan Jakarta terjun ke lokasi kejadian untuk mengamakan lokasi.
Bersyukur, Gubernur Merangkul
GUBERNUR Lampung
Sjachroedin ZP hari ini menjadwalkan melakukan pertemuan dengan Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Lampung. Pertemuan dimaksudkan untuk
mencari langkah strategis terkait dengan perang antarkampung Warga Lampung Selatan (Lamsel) itu juga melibatkan para tokoh masyarakat se-Lampung.
“Kami mendapat undangan dari gubernur untuk membahas bentrok di Lamsel. Pertemuan di Pemprov Lampung itu juga melibatkan para tokoh masyarakat se-Lampung,” terang Widi, salah satu aktivis organisasi sosial keagamaan, tadi malam.
Meski terlambat, kata
Widi, apa yang dilakukan gubernur patut diapresiasi sehingga pihaknya
berharap pertemuan akan menghasilkan langkah konkrin bukan saja dalam
penanganan kasus di waypanji Lamsel tapi juga antisipasi hal serupa
kedepannya. “Memang sih terlambat, perang antar kampong sudah pecah dan
korban nyawa bergelimpangan. Tapi ini lebih baik dari pada terus hanya
jadi penonton, gerak dan kiprak kita ormas social dan para tokoh tidak
terlihat,” ungkapnya.
Terpisah, sejumlah
tokoh ormas dan pimpinan parpol berharap pemerintah khusnya Pemkab
Lamsel segera mengambil tindakan kongkrit agar tidak terjadi konflik
berkepanjangan. Selain itu mereka juga meminta media mampu mengambil
peran dalam meredam kemarahan massa.
Humas DPW PKS Lampung,
Detti Febrina mendampingi Ketua DPW PKS Lampung, Gufron Azis Fuadi
mengatakan keprihatinannya terhadap kerusuhan yang terjadi. Karenannya
pihaknya berharap agar kerusuhan tersebut segera diselesaikan sampai
keakarnya dan tidak pernah terjadi lagi di Lampung. ”Dulu Forkopimda
pernah duduk bersama warga berkonflik. Pernah ada upaya, tapi mungkin
penyelesaian belum menyentuh akar konflik. Konflik hanya akan
menyisahkan kepedihan. Kita semua harus membantu untuk menyelesaikannya,
minimal tidak memperkeruh. Karenannya, selain pemerintah, media massa
juga harus ikut berkontribusi meredakan konflik, bukan justru
memperuncing situasi yang tanpa disulutpun sudah potensial menyebabkan
sumbu konflik terbakar,” kata Gufron, kemarin.
Menurut Gufron,
penyelesaian konflik antar etnis di sejumlah daerah rawan konflik juga
harus melibatkan partisipasi kalangan pers. Pers justru harus berfungsi
sebagai juru damai. ”Lihat saja untuk kejadian Waypanji dan Balinuraga
ini, tanpa harus menyajikan berita yang provokatif pun, dimasyarakat sudah beredar himbauan atau pesan bernada provokasi,” ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Ketua Pengurus Wilayah (PW) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Lampung, Hidir Ibrahim. Ia mengungkapkan,
piaknya sangat prihatin atas pristiwa Waypanji tersebut. Karenanya,
pihaknya tidak sependapat atas tindakan kekerasan dalam segala bentuk
dan atas nama apapun.
”Seluruh
komponen masyarakat, termasuk media massa harus dapat membantu
mencarikan solusi, atau paling tidak menahan diri untuk tidak
memperkeruh suasana,” kata mantan anggota Komisi III DPRD Lampung itu.