HINDU SOPOYONO: Agama Hindu tidak Percaya Keseragaman dalam Keimanan
OM SVASTI ASTU - SELAMAT DATANG DI SOPOYONO BLOGSPOT
“Aku hendak membagikan apa yang kudengar – itupun jika kau mengizinkan!”

Minggu

Agama Hindu tidak Percaya Keseragaman dalam Keimanan

Judul       : Hindu Agama Terbesar di Dunia
Penulis    : Stephen Knapp dkk.
Editor     : Ngakan Made Madrasuta
Penerbit  : Majalah Dwibulanan ''Media Hindu''
Halaman : 191

 
KETIKA membaca judulnya, terkesan akan suatu kesombongan, kejumawaan, suatu yang sama sekali bukan Hindu. Namun, sesudah mulai membacanya, terkesan akan sesuatu yang serius, sesuatu yang sungguh-sungguh. Dengan terjemahan yang apik, buku ini sebenarnya merupakan suatu bacaan yang menarik, lebih-lebih bagi kaum muda pada saat demikian banyaknya penghujatan bahwa Hinduisme bukanlah kumpulan dari orang-orang bodoh yang percaya akan tahayul.
 
Patut dikemukakan mengenai penolakan penafsiran dari kata sarva dharma samabhava sebagai semua agama di dunia ini sama (dalam Pengantar), sebab arti sesungguhnya memang bukan demikian dan orang harus memberitahukan kepada para pemuka agama untuk tidak lagi setiap saat mencoba mencari ekuivalensi kata atau istilah dalam Hindu atas sesuatu kata/istilah yang populer dalam keimanan yang lain. Sebab, hal ini adalah cermin dari rasa rendah diri atau suatu yang tidak lengkap di dalam keimanan seseorang. Padahal, seperti dikatakan di dalam Gita (VII, 2), dan lebih dipertegas lagi di dalam Visvasara-Tantra, yad ihasti tad anyatra, yannehasti na tat kvacit (apa yang ada di sini ada di mana-mana akan tetapi apa yang tidak ada di sini tidak ada di mana-mana).
 
Buku ini juga secara tegas menyatakan bagaimana menyeluruhnya (comprehensive) Hindu dibandingkan dengan keimanan yang lain dan pemahaman agama itu tidak sama untuk semua orang dan tergantung dari sifat, kemampuan kecerdasan dari orang seorang.
 
Dengan membaca demikian banyaknya buku-buku Hindu dari Amerika, ada semacam kekhawatiran bahwa suatu saat orang akan belajar mengenai Hinduisme sesungguhnya (tattva maupun upacara) dari negeri Paman Sam. Ingatlah apa yang diceritakan oleh Gandhi bahwa beliau belajar bahasa Sanskrta supaya bisa membaca Gita dari teks aslinya. Hal ini sangat penting karena seperti di dalam semua tulisan Gandhi dikatakan bahwa apapun yang kita jalankan, di dalam bidang apapun kita sedang bergelut, etika agama haruslah mendasari semua perbuatan kita.

 
Inilah sebenarnya yogasastra yang dijelaskan di dalam Gita. Jadi, agama bukanlah sekadar apa yang orang percaya, namun mendasari apa yang dipikirkan dan akan dikerjakannya. Dia bukan sekadar slogan atau demagogi yang sering terdengar selama ini, namun suatu keyakinan bahwa perbaikan yang bersifat perseorangan adalah pra-kondisi ke arah perbaikan masyarakat. Seyogyanyalah para pemuka masyarakat, terlebih lagi kaum mudanya, untuk juga ikut belajar agama dari teks aslinya.
 
Buku ini merupakan rangkuman beberapa penulis yang membela secara tepat dan tanpa rasa membenarkan diri yang berlebihan mengenai demikian banyak "ralat" dan hal yang "kosong" di dalam pemaparan dari berbagai susastera atau teks di dalam berbagai keimanan -- sesuatu yang tidak terjadi di dalam khasanah susastera Hindu. Fundamentalisme yang ngotot dan tidak toleran tidak pernah terjadi di dalam sejarah Hinduisme.
 
Dalil Hindu bahwa setiap pendapat patut dipertimbangkan dan setiap keimanan memperoleh tempatnya, memang telah terbukti sepanjang sejarah. Hindu tidak percaya kepada keseragaman di dalam keimanan, seperti juga sesungguhnya ketika Yesus mulai memproklamirkan keimanan baru. Dia tidak pernah menyerukan kepada semua orang untuk meninggalkan keimanan lamanya dan menjadi Kristiani. Semboyan Onward Christian Soldier dengan segala kekejaman dan tiadanya toleransi serta praktik inquisisi dan ikonoklastik (penghancuran arca-arca) tidak pernah menghantui sejarah Hinduisme.
 
Dan harus juga diingat, pada 5 Juni 1964, Paus Paulus menyetujui dokumen yang mengatakan bahwa umat yang memilih kremasi dan bukan penguburan, sudah tidak lagi dianggap sebagai pendosa kepada masyarakat dan diperkenankan untuk memperoleh sakramen (pemberian doa oleh pendeta). Dalam komunikasinya, Paus juga menyebutkan alasan gereja mengenai keputusannya menyangkut "kebiasaan di suatu negara dan alasan kesehatan." Padahal sebelumnya, kremasi ditentang oleh Gereja Katholik karena berlawanan dengan keimanan gereja mengenai kebangkitan badan/raga kasar (resurrectionof the body).

 
* agus s. manik