Oleh: Dyah Chaterine Diana.Penulis adalah pemerhati masalah politik.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
- Menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 yang
akan diselenggarakan pada 9 Juli 2014, masalah intoleransi kembali marak
di beberapa daerah, terutama di daerah Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan
Jawa Timur. Maraknya kasus-kasus intoleransi ini, juga mengkhawatirkan
berbagai kalangan dapat mengganggu pelaksanaan hajatan politik 5 tahunan
tersebut.
Belum lama ini yaitu 29 Mei 2014 telah terjadi kasus
intoleransi terhadap umat beragama yang sedang melakukan doa rosario di
rumah Direktur Galang Press, Julius Felicianus di Perum STIE YKPN, Dusun
Tanjungsari, Kelurahan Sukoharjo, Kecamatan Ngaglik, Sleman,
Yogyakarta, dimana dalam kasus ini juga disertai tindak kekerasan
terhadap wartawan Kompas TV, Mika dimana yang bersangkutan juga
mengalami luka-luka dan dirampas peralatan jurnalistiknya. Menyikapi hal
ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengecam kekerasan
atas nama agama tersebut. Dalam kasus ini, pihak kepolisian telah
menyita beberapa barang bukti berupa mandau, satu pedang pendek, satu
samurai, dan tiga batang kayu.
Terkait dengan kasus intoleransi tersebut, Kapolri Jenderal Pol Sutarman
mengatakan, pengoperasian rumah pribadi menjadi tempat ibadah harus
mempunyai izin. Menurutnya, kasus intoleransi yang terjadi di kediaman
pemuka agama Niko Lomboan di Dusun Pangukan, Kecamatan Triadi, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta telah dijadikan tempat kebaktian rutin, padahal
rumah tersebut tidak boleh dijadikan rumah ibadah karena tidak memiliki
izin serta melanggar tindak pidana ringah. “Harus ada laporan ke Polisi
mengenai kegiatan tersebut dan persetujuan pemerintah daerah,” tambah
Sutarman sambil meminta peran aktif masyarakat untuk ikut mengontrol
rumah pribadi yang dijadikan tempat ibadah rutin. Pernyataan Kapolri ini
dikritik habis oleh Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Pendeta Benny Susetyo (3/6/2014).
Sementara
itu, anggota Komisi Mediasi Komnas HAM, Siti Noor Laila mengatakan,
aksi tindak kekerasan intoleransi beragama yang terjadi di Yogyakarta
sudah berada diambang batas. Selain sering terjadi, para pelaku tindak
intoleransi juga tidak ditindak secara tegas oleh aparat keamanan.
Komnas HAM menyesalkan aksi penyerangan kelompok ormas berbasis
keagamaan kepada umat agama tertentu yang sedang beribadah di Ngalik,
Sleman, Yogyakarta pada 29 Mei malam.
Menurutnya, fakta mengenai
beragam kejadian di Yogyakarta telah memperlihatkan bahwa tingkat
intoleransi di Yogyakarta sudah mendekati taraf memprihatinkan. Maraknya
aksi intoleransi antar umat beragama ini terjadi, karena penegakkan
hukum tidak berjalan, serta justru terkesan dibiarkan oleh aparat
keamanan. Maka, para pelaku akan mengulang perbuatannya, karena merasa
dibiarkan dan kebal hukum. “Pemerintah harus segera mencari solusi untuk
menghentikan kasus intoleransi beragama ini, dengan mengusut para
pelaku dan proses hukum harus ditegakkan sampai tuntas,” ungkap
perempuan yang sebelumnya menjabat Ketua Komnas HAM ini.
Di Nusa
Tenggara Timur, Ketua GP Ansor NTT, Abdul Muis mengatakan, GP Ansor
mengutuk keras tindakan sekelompok orang yang menggunakan simbol agama
untuk melakukan perusakan dan pembubaran warga yang beribadah. Pihaknya
meminta pemerintah dan aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus ini.
Pernyataan
“menyalahkan” pemerintah juga disampaikan salah satu media massa
nasional yang telah mendukung salah satu pasangan capres-cawapres dalam
Pilpres 2014 melalui editorialnya berjudul “Jangan Menoleransi Tindakan
Intoleran” tertanggal 4 Juni 2014 yang intinya, kebebasan memeluk agama
dan beribadat menurut agama serta kepercayaan masing-masing merupakan
hak yang paling hakiki yang dijamin konstitusi, tetapi belum dapat
diimplementasikan sepenuhnya dan sebaik-baiknya. Dalam perkembangan
terkini, intoleransi masih menjadi persoalan serius yang belum tuntas
dimana kasus Yogyakarta dilaporkan berbagai aksi diskriminatif bahkan
ancaman serius terus berlangsung terhadap warga negara yang tengah
menjalankan hak dasar dalam perikehidupan. Itu terjadi karena tidak ada
tindakan tegas dari aparat keamanan.
Menurut penulis, masih
maraknya aksi intoleransi dan “pengangkatan” kasus ini menjelang
pelaksanaan Pilpres 2014 dapat disebabkan karena beberapa alasan antara
lain :
Pertama, mengacu kepada pernyataan Kapolri bahwa tidak
dibenarkan jika sebuah rumah tempat tinggal dijadikan tempat atau rumah
ibadah secara rutin, karena dapat merupakan tindak pidana ringan jika
tidak melaporkan kepada aparat keamanan setempat. Kondisi ini sering
terjadi di beberapa daerah terutama di daerah-daerah padat penduduk yang
beragama berbeda dengan tempat ibadah atau rumah ibadah yang didirikan
serta mayoritas berada di daerah pedesaan/dusun, sehingga wajar jika
beberapa kalangan mengkhawatirkan telah terjadinya penyebaran agama
tertentu atau pemengaruhan terhadap penduduk lokal terhadap ajaran agama
tersebut, dimana jika ini terjadi juga merupakan pelanggaran HAM yang
serius atas kebebasan beragama dan memilih agama.
Kedua, masih
maraknya kasus intoleransi ini karena kedua belah pihak yang “bertikai”
dari pihak agama tertentu yang melakukan praktik keagamaan di rumah
tinggal yang dijadikan rumah ibadah secara rutin dengan kelompok tidak
dikenal yang berseberangan dengan mereka, terjadi karena sebenarnya
kedua belah pihak juga tidak menghormati peraturan yang berlaku. Jika
Peraturan Menteri Agama dan Kemendagri terkait masalah ini dipatuhi oleh
kedua belah pihak, maka sebenarnya kasus intoleransi tidak akan
terjadi.
Ketiga, aksi kekerasan menggunakan dasar kepentingan
SARA memang mulai mewarnai fase kampanye politik masing-masing kandidat
presiden dan wakil presiden, dengan tujuan mereka jika tidak dapat
mengupgrade popularitasnya maka jalan pintas adalah dengan mendowngrade
popularitas lawan dengan menggunakan isu SARA, kampanye hitam dll.
Menurut
penulis, walaupun kasus-kasus intoleransi merupakan sumber pemberitaan
yang menarik untuk diberitakan, namun tampaknya masyarakat Indonesia
sangat mengharapkan kedewasaan media massa di Indonesia untuk tidak
memberikan ruang pemberitaan terkait isu sensitif ini. Media massa
menurut penulis mempunyai peranan yang sangat vital dalam Pilpres 2014
yaitu bagaimana melalui pemberitaan yang sehat, bijaksana, dewasa dan
tidak memihak serta ada basis pendewasaan politik terhadap masyarakat,
agar tidak semakin terpengaruh dan terpecah belah baik menjelang, selama
dan sesudah Pilpres 2014. Untuk apa kita menyelenggarakan Pilpres 2014,
jika output akhirnya malah menghasilkan kerusuhan, huru hara dan
ketegangan politik terus menerus. Kita semua perlu bersatu padu
mensukseskan Pilpres 2014 secara aman, damai dan lancar. Semoga.