Salah
satu sloka dalam ajaran Veda mengatakan; “Ahimsaya paro dharmah” yang
bisa diartikan: “Dharma atau kebajikan tertinggi adalah ahimsa”.
Apa
itu ahimsa? Beberapa orang mengatakan bahwa ahimsa berasal dari kata
“a” yang artinya tidak dan “himsa” yang artinya membunuh. Sehingga
mereka mengatakan bahwa ahimsa artinya tidak membunuh. Permasalahannya
adalah apakah mungkin dalam kehidupan ini kita lepas dari pembunuhan?
Setiap mahluk hidup dari yang terbesar sampai kepada yang terkecil
memerlukan makanan dalam mempertahankan hidupnya dan semua itu tidak
mungkin lepas dari pembunuhan. Manusia yang menjalani kehidupan
frutarian yang hanya memakan daging buah sekalipun tidak akan pernah
luput dari pembunuhan. Setiap udara yang dia hirup akan membawa sejumlah
jasat renik yang akhirnya binasah akibat sistem pertahanan tubuhnya.
Setiap air yang dia masak sudah pasti mengandung jutaan bakteri dan
virus. Dan setiap gerak langkah aktivitasnya meski dilakukan secara
tidak sengaja, sudah pasti berkaitan dengan pembunuhan. Sehingga dengan
demikian, tidaklah tepat jika “ahimsa” diartikan sebagai tidak membunuh.
Srila
Prabhupada dalam Bhagavad Gita menurut aslinya sloka 10.5, 13.8, 16.2,
dan 17.14 mengartikan ahimsa sebagai tidak melakukan kekerasan. Memang
benar bahwasanya membunuh adalah salah satu bentuk dari tindakan
kekerasan. Tetapi ada pembunuhan-pembuhuhan yang diijinkan dan bahkan
diwajibkan oleh ajaran Veda. Membunuh untuk mempertahankan hidup
bukanlah tindakan himsa karma. Bahkan Bhagavad Gita yang disabdakan oleh
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna adalah merupakan perintah
kepada Arjuna untuk bangkit dan melakukan kewajibannya membunuh
lawan-lawannya di medan perang. Pembunuhan harus dilakukan dalam rangka
melakukan tugas dan kewajiban. Seorang Brahmana yang berkualifikasi
dapat pembunuhan binatang dalam rangka korban suci. Seorang Ksatria
seperti Arjuna yang tugas dan kewajibannya bela negara dan menghancurkan
musuh demi dharma maka harus siap melakukan pembunuhan walaupun yang
harus dia bunuh adalah sanak keluarga, guru dan saudara-saudaranya
sendiri. Begitu juga dengan seorang Hakim sebagaimana disampaikan dalam
kitab hukum Hindu, Manu Samhita tidak boleh disalahkan hanya karena dia
menjatuhkan hukuman dan mengeksekusi mati narapidana yang telah terbukti
melakukan dosa berat membunuh orang lain. Seseorang yang membela diri
dari serangan perampok demi mempertahankan jiwa raga dan harta bendanya
pun tidak boleh disalahkan karen membunuh si perampok. Begitu juga semua
mahluk hidup yang melakukan pembunuhan demi makan dan mempertahankan
hidupnya tidak bisa serta merta kita salahkan. Bahkan Bhagavata Purana
6.4.9 mengatakan: “annaḿ carāṇām acarā hy apadaḥ pāda-cāriṇām ahastā
hasta-yuktānāḿ dvi-padāḿ ca catuṣ-padaḥ, secara alamiah, buah-buahan dan
bunga diperuntukkan sebagai makanan untuk serangga dan burung; rumput
dan binatang yang tidak berkaki adalah sebagai makanan binatang berkaki
empat seperti sapi dan kerbau; binatang yang tidak menggunakan kaki
depannya sebagai tangan adalah makanan bagi binatang seperti macan, yang
memiliki cakar; dan binatang berkaki empat seperti rusa dan kambing,
maupun biji-bijian, adalah makanan bagi manusia”. Ini berarti secara
alami manusia memang diijinkan melakukan pembunuhan binatang untuk
kebutuhan hidupnya.
Meskipun
demikian, hendaknya kita harus menyikapi “hak” membunuh ini dengan
sangat hati-hati. Jangan beranggapan bahwasanya kita bisa melakukan
pembunuhan sembarangan dengan alasan bahwa sang roh tidak pernah
terbunuh meski badan materialnya terbunuh. Karena tidakan membunuh
seperti ini bertentangan dengan prinsip bahwasanya jika suatu mahluk
hidup dibunuh tanpa aturan kitab suci, itu berarti kita telah
menghalangi proses evolusi sang roh mahluk hidup bersangkutan. Karena
itulah dikatakan pula bahwa ahimsa dapat diartikan tidak
menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup mana pun yang maju dari salah
satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan yang lain.
Dalam
melakukan pembunuhan kita juga harus memandang kualifikasi personal
kita. Sebagai contoh, pembunuhan binatang dalam korban suci diijinkan
dengan tujuan agar roh binatang yang dikorbankan tersebut bisa naik
derajatnya dan mencapai sorga. Permasalahannya adalah apakah saat ini
masih ada Brahmana yang berkualifikasi? Apakah kita sanggup mengangkat
roh binatang yang kita bunuh tersebut mencapai sorga sementara diri kita
sendiri belum tentu bisa mencapai sorga? Karena itulah kitab suci Veda
sebagaimana tertuang dalam Vishnu Puräna 6.2.17, Padma Puräna Uttara
Kanda 72.25, Brhan-Naradiya Puräna 38.97, Bhägavata Puräna 11.5.32 dan
12.3.52, Narayana Samhita serta banyak lagi sloka-sloka Veda yang
lainnya menegaskan bahwa pada Kali Yuga ini korban suci binatang tidak
dianjurkan karena hampir tidak ada Brahmana yang memiliki kualifikasi
melakukan korban binatang.
Demikian
juga dalam hal membunuh untuk alasan makanan demi mempertahankan hidup.
Benarkah tindakan kita membunuh suatu binatang untuk mempertahankan
hidup atau hanya demi memenuhi nafsu kita memakan berbagai jenis daging?
Pada jaman sekarang yang kita katakan sebagai peradaban modern, manusia
berusaha mengembangkan teknologi peternakan, rumah pemotongan hewan dan
pemrosesannya menjadi berbagai macam produk makanan instan siap saji
dengan berbagai cita rasanya. Manusia cenderung melakukan perburuan
berbagai jenis makanan mulai dari kuliner tradisional yang mudah di
dapat sampai pada makanan yang diolah dari daging binatang langka yang
tidak seharusnya di bunuh dan bahkan juga ada yang diolah dari janin
manusia sebagaimana pemberitaan yang pernah santer di dunia maya. Apakah
kuliner seperti ini dapat kita kategorikan sebagai tindakan membunuh
untuk mempertahankan hidup yang dibenarkan oleh ajaran Dharma?
Pada
jaman dahulu, para Ksatria secara rutin pergi ke hutan untuk berburu.
Perburuan yang mereka lakukan adalah dalam rangka melatih ilmu memanah
dan bela diri mereka. Jenis binatang yang mereka jadikan target pun
tidaklah sembarangan. Biasanya mereka akan berburu rusa, babi hutan dan
beberapa jenis burung. Sebagai konsekuensi dari pembunuhan ini, maka
daging binatang tersebut tidak boleh mereka buang, tetapi harus di makan
atau dibakar dengan mengikuti aturan upacara pembakaran mayat manusia
sebagaimana yang masih diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat di
Jaipur – India sampai saat ini. Demikian juga para petani, mereka
biasanya melakukan perburuan terhadap binatang-binatang yang menjadi
hama bagi lahan pertanian mereka. Para petani menangkap berbagai jenis
serangga seperti jangkrik dan belalang yang kemudian mereka konsumsi
sebagai lauk-pauk. Binatang-binatang pengerat seperti tupai, tikus dan
babi hutan juga sering kali menjarah lahan pertanian mereka sehingga
mereka harus memburu dan membunuhnya. Dan tentunya, binatang hasil
buruan ini harus mereka santap dari pada dibuang percuma. Bahkan
beberapa sistem masyarakat di Bali masih mengikuti tradisi Veda dengan
melakukan upacara pengabenan bangkai tikus hasil perburuan di sawah.
Hanya
saja apa yang terjadi sekarang? Babi yang dulunya merupakan hama,
malahan sekarang dipelihara dan diternakkan hanya karena alasan
dagingnya. Demikian juga degan binatang-binatang lainnya yang dipelihara
bukan lagi dengan tujuan mempertahankan hidup,
tetapi sudah mengarah pada pemenuhan selera makan semata. Padahal kalau
manusia mau berpikir cerdas tanpa mendahulukan nafsu makannya semata,
akan jauh lebih bijak jika mereka mengkonsumsi langsung tumbuhan atau
biji-bijian yang diberikan ke binatang yang mereka ternakkan dari pada
menunggu daging binatang ternah tersebut siap dikonsumsi. Menurut
penelitian, untuk 1 hektar lahan jika digunakan menggemukkan 1 ekor sapi
maka kita dapat menghasilkan protein sekitar 0,5 Kg. Sementara itu
dalam kurun waktu yang sama, jika lahan tersebut digunakan untuk menanam
kedelai dan kedelai itu langsung dapat dikonsumsi manusia maka dapat
dihasilkan protein sekitar 8,5 Kg. Jadi dengan kata lain untuk bisa
menikmati daging dalam jumlah yang sama kita memerluka 17 kali luas
lahan jika dibandingkan dengan mengkonsumsi produk nabati. Begitu juga
jika kita beternak binatang yang lain. Pada kenyataanya, maksimal hanya
10% dari seluruh makanan yang kita berikan kepada binatang tersebut yang
terkonversi menjadi daging, sementara selebihnya hanya akan terbuang
percuma menjadi kotoran. Sehingga secara hitung-hitungan ekonomi, dengan
mengurangi konsumsi daging sebenarnya kita bisa berhemat sumber daya
alam sampai 90%.
Saat
ini terjadi bencana kelaparan di mana-mana bukan karena Bumi tidak
mampu menyediakan makanan bagi mahluk hidup yang ada di atasnya, tetapi
karena keserakahan manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam. Paul dan
Anne Ehrlich dalam bukunya berjudul “Population, Resources And
Environtment” mengatakan bahwa di Amerika, Untuk menghasilkan 1 pon
gandum memerlukan 60 pon air, sementara untuk menghasilkan 1 pon daging
perlu air 2.500 – 6.000 pon. Dan dari penjabaran-penjabaran yang dia
sampaikan, diambil kesimpulan jika seluruh masyarakat dunia memiliki
gaya hidup seperti orang Amerika, maka kita memerlukan 3 buah planet
bumi lagi untuk menyokong kehidupan kita. Andaikan masyarakat kita
peduli dengan krisis seperti ini, seharusnya bahan nabati yang dijadikan
pakan ternak bisa dialihkan untuk dapat dikonsumsi langsung dan
disalurkan ke daerah-daerah yang memerlukan sehingga tidak ada lagi
bencana kelaparan seperti sering kali kita dengar akhir-akhir ini.
Jika
lingkungan kita menyediakan begitu banyak makanan nabati dan tidak ada
serangan hama binatang yang berarti, itu artinya sama sekali tidak ada
alasan pembunuhan binatang untuk bahan makanan. Pembunuhan hanya
diijinkan jika lingkungan memang benar-benar tidak mendukung. Seperti
contoh suku eskimo yang hidup di Alaska dimana di sana sama sekali tidak
terdapat biji-bijian dan sayuran sehingga mereka hanya bisa bertahan
hidup dengan berburu anjing laut, dan berbagai jenis ikan. Begitu juga
dengan mereka yang hidup di gurun dan savana yang tandus. Mungkin mereka
hanya bisa bertahan hidup dengan berburu binatang liar atau berternakk
beberapa jenis binatang untuk diambil susu dan dagingnya. Tetapi
meskipun demikian, bukan berarti semua binatang boleh dibunuh dan
dimakan dagingnya. Ṛg Veda 9.46.4 mengatakan: “gobhiḥ prīṇita-matsaram”
yang berarti bahwa orang yang sudah puas sepenuhnya dengan susu tetapi
ingin membunuh sapi berada dalam kebodohan yang paling kasar. Visnu
Purana 1.19.65 juga mengatakan: “namo brahmaṇya-devāya
go-brāhmaṇa-hitāya ca jagad-dhitāya kṛṣṇāya govindāya namo namaḥ, Tuhan
yang hamba cintai, Andalah yang mengharapkan kesejahteraan sapi dan para
brahmana, dan Anda mengharapkan kesejahteraan seluruh masyarakat
manusia dan dunia”. Sehingga dengan demikian, andaipun kita harus
membunuh untuk mempertahankan hidup dari kurangnya sumber makanan,
tetapi sapi sebagai binatang yang sering kali juga disebut “mata” atau
ibu dalam kitab suci Veda sama sekali tidak boleh dibunuh.
Dari
penjabaran di atas, yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwasanya
Veda tidak pernah mengatakan tidak boleh membunuh dan tidak juga
mengatakan pola hidup Vegetarian wajib bagi seluruh penganut Veda.
Vegetarian adalah sebuah usaha pengendalian diri dari nafsu bagi mereka
yang ada dalam tingkatan spiritualitas tertentu dan juga merupakan
anjuran kitab suci Veda dalam upaya menjaga keseimbangan alam dengan
cara menghindari pola hidup mengeksploitasi sumber daya alam seperti
contoh peternakan modern saat ini. Jika kita hidup dalam lingkungan yang
miskin bahan makanan nabati, maka kita boleh membunuh dan mengkonsumsi
binatang. Jika dalam lahan pertanian kita terdapat banyak binatang yang
merupakan hama, maka binatang itu dapat kita bunuh dan santap dagingnya.
Tetapi jika kita hidup dalam lingkungan yang sangat mudah mendapatkan
biji-bijian dan sayur-sayuran tetapi kita masih saja bersikeras
memaksakan diri membunuh dan menyantap binatang, maka kita mungkin harus
segera merenung. Apa benar pembunuhan yang kita lakukan sesuai dengan
aturan dalam kitab suci Veda?
Om tat sat
Read more http://narayanasmrti.com/2011/02/23/pembunuhan-dan-vegetarianisme/