INDAHNYA ANEKA RAGAM JALAN BHAKTI DALAM HINDU
Oleh: I Made Sri Wirdiata
Om Awighnam astu namah sidham,
Om Swastyastu,
Umat sedharma yang saya hormati,
Nikmatnya hari-hari yang kita lalui tiada lain adalah merupakan anugrah
limpahan kasih dari Ida Sang Hyang Widhi. Untuk itu sepatutnyalah kita
haturkan puji syukur kehadapan Beliau beserta segala manifestasi-Nya.
Bahwa sebagai mahluk yang bermartabat, kita harus selalu berterima
kasih.
Umat sedharma yang berbahagia,
Keseharian kita dalam lingkungan terkecil kita yaitu keluarga yang
biasanya dimulai dari bangun tidur, ada berbagai hal yang berbeda yang
kita jumpai. Perbedaan itu antara lain dari sisi aktivitas yang
dikerjakan setelah bangun tidur, maupun kebiasaan-kebiasaan cara kita
bangun. Tapi, kita sadari bahwa semua perbedaan itu tetap dalam koridor
saling melengkapi aktivitas satu dan lainnya, memperkuat kehidupan
keluarga kita.
Lingkungan yang lebih luas pun yaitu dalam kehidupan bermasyarakat,
khususnya masyarakat umat beragama Hindu sudah barang tentu sangat
lumrah bila ada beraneka macam perbedaan. Perbedaan itu biasanya
terdapat dalam tataran pelaksanaan ritual/upacara, dan pelaksanaan
etika/susila, namun yang pasti ketika ditinjau dari sisi
filsafat/tattwa, disana ada suatu substansi yang sama, ada dharma yang
sama yang menjadi spirit dari pelaksanaan ritual dan etika yang
berbeda-beda itu.
Atas adanya perbedaan-perbedaan yang ada dalam ajaran agama Hindu itu
tidak jarang menimbulkan adanya perbedaan persepsi yang sering berujung
pada perpecahan umat. Seperti adanya saling kecam antar tradisi yang
satu dengan lainnya, saling klaim kebenaran tradisi antara kelompok
masyarakat yanag satu dengan lainnya. Padahal kita masih sama-sama
Hindu. Contoh, berbeda cara melafalkan suatu mantra saja terkadang
menimbulkan suatu pertikaian, ini biasanya terjadi pada umat Hindu di
daerah yang tingkat pendidikannya masih rendah, namun tidak jarang juga
justru umat Hindu di kota yang notabene pendidikannya tinggi sering
terjebak dalam kasus seperti itu.
Perbedaan, atau keanekaragaman, atau pluralisme itu adalah suatu
keniscayaan. Bukankah agama Hindu mengajarkan konsep rwa bhineda? Dua
hal yang selalu berbeda. Juga ada konsep desa, kala, patra, (tempat,
waktu, kondisi) yang sering kita gaungkan, yang mana secara prinsip
merupakan pengakuan terhadap kearifan lokal atau local genius dari
tradisi Hindu. Secara substansi desa, kala, dan patra tersebut memiliki
semangat atau nilai filosofi yang sama, kebenaran yang sama, yaitu
dharma.
Catur warna, adalah salah satu bentuk pluralisme tatanan masyarakat
dalam Hindu, konsep catur warna yang dipahami secara benar justru akan
dapat memperkuat tatanan kehidupan bermasyarakat dalam Hindu. Hal
lainnya yang juga merupakan kebenaran mengenai pluralisme dalam Hindu
adalah tentang konsep atau cara kita menghubungkan diri dengan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Kuasa (Brahman).
Umat sedharma yang saya hormati,
Hindu mengajarkan ada empat jalan untuk menghubungkan diri dengan-Nya.
Empat jalan itu disebut catur marga yoga. Bagian dari catur marga yoga
yaitu bhakti marga yoga, karma marga yoga, jnana marga yoga, dan raja
marga yoga. bhakti marga yoga yaitu cara menghubungkan diri dengan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman) melalui jalan bhakti, yaitu cinta kasih,
pelayanan tulus iklas kepada-Nya. Selanjutnya karma marga yoga yaitu
cara menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman)
melalui jalan bekerja tanpa pamrih, bekerja demi kewajiban bukan demi
hasil, dengan kata lain melepaskan diri dari ikatan hasil. Jnana marga
yoga yaitu cara menghubungkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Brahman) melalui jalan ilmu pengetahuan, melalui jalan peningkatan
kesadaran spiritual. Sedangkan raja marga yoga yaitu cara menghubungkan
diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Brahman) melalui jalan semadhi,
meditasi, atau melaksanakan sadhana/latihan spiritual tertentu.
Lalu manakah dari keempat jalan itu yang paling benar? Jawabannya adalah
semua benar, semua sah, semua dapat dilaksanakan karena semua itu ada
atas kehendak-Nya. Bukankah segala sesuatu yang terjadi itu atas
kehendak Hyang Widhi? Termasuk kebenaran mengenai jalan untuk
menghubungkan diri dengan-Nya. Lalu apa yang menyebabkan pilihan jalan
kita berbeda antara yang satu dengan yang lainnya? Perbedaan itu
tergantung dari tingkat kesadaran rohani atau spiritual kita, yang
ditentukan oleh karma vasana kita masing-masing. Dalam pertemuan kali
ini kita akan membahas tentang aneka ragam atau pluralisme jalan bhakti
yang ada di dalam Hindu.
Umat sedharma yang saya hormati,
Bhakti adalah wujud cinta kasih, penyerahan diri, sujud kehadapan Hyang
Widhi/Brahman. Kitab Bhagavata Purana atau Srimad Bhagavatam,
menyebutkan 9 jenis cara mewujudkan rasa bhakti kita kehadapan Brahman,
yang disebut dengan Nava laksana bhakti. Nava laksana bhakti terdiri
dari: Sravanam; yakni mempelajari keagungan Tuhan Yang Maha
Pengasih/Hyang Widhi melalui pembacaan kitab-kitab suci. Kirtanam;
mengucapkan/menyanyikan nama-nama Hyang Widhi, Smaranam; mengingat
nama-Nya atau bermeditasi tentang-Nya, padasevanam; melakukan pelayanan
kepada Hyang Widhi termasuk melayani atau menolong berbagai mahluk
ciptaan-Nya, arcanam; memuja keagungan-Nya umumnya dengan sarana arca
dan persembahan bunga serta buah-buahan, dasya; melayani-Nya dalam
pengertian mau melayani mereka yang memerlukan pertolongan dengan penuh
keikhlasan, sakhya, memandang Hyang Widhi sebagai sahabat sejati yang
selalu memberikan pertolongan, dan atmanivedanam, penyerahan diri secara
total kepada-Nya.
Berbagai bentuk bhakti tersebut dalam Hindu adalah benar. Semua jalan
tersebut merupakan jalan yang diciptakan oleh Hyang Widhi. Apapun jalan
yang kita tempuh pasti akan sampai kepada Beliau, asal dilakoni dengan
kesungguhan, keyakinan dan tulus tanpa ego. Pustaka suci kita
Bhagavadgita Bab IV sloka 11 menjamin sebagai berikut:
Ye yathaa maam prapadyante
taamstathaiva bhajaamyaham;
Mama vartmaanuvartante
manushyaah paartha sarvashah.
Artinya:
Bagaimana pun (jalan) manusia mendekatiKu, Aku terima, wahai Arjuna. Manusia mengikuti jalan-Ku pada segala jalan.
Umat sedharma yang berbahagia,
Dalam konsep jalan bhakti di atas, kita diberikan kebebasan untuk
memilih jalan mana yang kita sukai dan mampu untuk dilaksanakan. Namun
apa yang terjadi belakangan ini? Banyak dari kita yang saling cela dalam
melaksanakan sradha (keyakinan) dan bhakti kita. Saling jatuhkan.
Menganggap bahwa cara yang dilakukan oleh dirinyalah yang paling benar.
Harus kita sadari bersama bahwa musuh dari bhakti adalah ego. Bagaimana
mungkin kita mengklaim diri sebagai orang yang memiliki sradha bila kita
masih egois, dan memonopoli Tuhan? Orang yang memiliki sradha dapat
memahami pemujaan Hyang Widhi dari berbagai jalan.
Perbedaan bukanlah suatu masalah, yang menjadi masalah adalah salah
menyikapi perbedaan. Seperti halnya taman bunga, akan tampak lebih indah
dan enak dipandang karena terdiri dari berbagai jenis bunga. Demikian
pula halnya dengan sebuah bangunan yang kokoh. Bukankah kokohnya
bangunan tersebut karena perbedaan bahan penyusunnya? Pasir, batu bata,
semen, besi, kapur dll. Satu pun dari bahan bangunan tersebut tidak ada
yang ingin selalu paling menonjol. Bayangkan bila besi, batu bata atau
yang lainnya selalu ingin terlihat menonjol, maka selain tidak indah
dipandang, bangunan tersebut juga tidak akan kuat. Ia akan rapuh.
Demikian halnya dengan kita sebagai umat Hindu, berbagai cara di atas
diciptakan untuk kita laksanakan sesuai dengan pilihan dan kemampuan,
dan tingkat kesadaran spiritual kita. Jangan karena perbedaan chanda
atau aturan pengucapan mantra membuat kita saling kecam, jangan karena
ada yang tetap memilih cara tradisional Indonesia khususnya secara
tradisi Bali, justru mengecam umat Hindu lainnya yang memilih cara
Kejawen, Sunda, Dayak, Toraja, termasuk yang memilih cara bhajan,
kirtan, dan cara lainnya. Jangan karena upakara atau sarana
sesajen/bebanten tidak mengikuti daerah tertentu lalu upakara tersebut
disalahkan, dikecam.
Umat sedharma yang berbahagia yang saya muliakan,
Kita yang sama-sama baru belajar agama “kemarin sore” marilah kita tidak
mencari-cari perbedaan, mari kita cari persamaan. Sekali lagi,
perbedaan itu bukanlah masalah, yang menjadi masalah adalah salah
menyikapi perbedaan itu. Tingkat pendidikan umat lain telah maju, mari
kita hentikan berkutat mengenai masalah pilihan pribadi setiap umat
Hindu dalam menghubungkan diri dengan Tuhan. Tuhan saja tidak protes
kepada kita mengenai Dia didekati dengan cara apapun, dari jalan
manapun.
Mari kita berkutat bagaimana meningkatkan mutu pendidikan bagi generasi
muda Hindu, bagi anak-anak kita, mari kita berkutat bagaimana
meningkatkan ekonomi umat, meningkatkan tingkat kesehatan umat. Jika
kita terus-terusan ribut tentang hal upacara, maka oleh “musuh” kita
akan semakin dipecah belah, kita tercerai berai maka kita akan
diinjak-injak. Di dunia barat telah berhasil membuat pesawat canggih,
perumahan canggih, sistem pendidikan dan kesehatan canggih, bahkan
mereka menerapkan beraneka ragam jalan spiritual Hindu, jalan dharma,
tapi justru kita disini masih saja ribut-ribut masalah pelaksanaan
ritual/upacara yang berbeda yang justru tidak salah tapi kita
persalahkan, kita permasalahkan. Bukan tidak boleh dibahas, tapi tidak
cukup urgen dan kurang memberi manfaat bagi kemaslahatan umat. Justru
semakin membuat terpecah. Jadi, umat Hindu kondisinya terpuruk bukan
karena kehebatan orang lain atau “musuh” yang ingin menghancurkan
keberadaan kita, tapi kita seperti ini karena kelemahan kita sendiri.
Suatu pasukan perang menjadi kuat karena adanya perbedaan jenis senjata
yang digunakan, ada bermacam-macam pilihan senjata.
Mari dalam perbedaan jalan kita menghubungkan diri dengan Brahman kita
kuatkan posisi Hindu. Justru dalam perbedaan itulah kita temukan, kita
jumpai, kita dapatkan pilihan aneka jalan bhakti yang indah dalam Hindu.
Semua itu milik kita. Semua itu satu Hindu. Semua itu adalah sanatana
dharma.
Demikian dharma wacana ini semoga dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Om, A no badrah kratavo yanthu visvatah, Om ksama sampurna ya namah svaha.
Om Santih, Santih, Santih, Om.