Adanya perayaan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali menjelang hari raya Galungan dan Kuningan harus diakui belum begitu dipamahi konsepsinya oleh umat. Hanya sering disebutkan bahwa konsepsi Sugihan itu disebutkan sebagai penghormatan kepada batara-batari yang berstana di sanggah (merajan) dan penghormatan kepada leluhur. Namun, di balik rutinitas upacara tersebut sebenarnya ada makna mendalam terkait dengan persiapan umat Hindu secara spiritual sebelum memasuki hari raya Galungan. Tetapi dengan adanya perbedaan kata di belakang sugihan yakni Jawa dan Bali tentu saja melahirkan pertanyaan kenapa bisa muncul dua nama itu? Adakah kaitannya dengan asal-muasal dari mereka yang merayakan masing-masing sugihan tersebut? Lantas bagaimanakah sesungguhnya makna dari sugihan itu sendiri?
Menurut Drs. I Gusti Ngurah
Sudiana, M.Si., Wakil Ketua I Parisada Bali, membicarakan makna
filosofis hari sugihan tidak bisa dipisah-pisahkan dengan hari lainnya
yang masih merupakan rangkaian hari raya Galungan dan Kuningan.
Rangkaian perayaan yang sudah dimulai sejak 25 hari sebelum Galungan
tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Wariga atau yang lebih dikenal
dengan Tumpek Wariga. Pada saat ini umat mengaturkan persembahan kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang
Sangkara. Dalam pengider bhuwana letaknya di Pucak Mangu. Umat pada
Tumpek Wariga (Tumpek Pengatag) ini melakukan komunikasi dengan penguasa
tumbuh-tumbuhan. Adapun tumbuh-tumbuhan yang diutamakan adalah yang
menghasilkan bahan-bahan yang bisa digunakan sebagai sesaji persembahan
untuk hari raya Galungan dan Kuningan. Dalam peng-aci-aci-nya, umat
memohon dengan jelas kepada penguasa tumbuh-tumbuhan untuk melimpahkan
buah-buahan yang akan digunakan pada saat Galungan.
Secara filosofi, kata Sudiana
yang juga dosen STAHN Denpasar ini, dari perayaan Tumpek Wariga
sesungguhnya umat Hindu diharapkan untuk mempersiapkan pelaksanaan hari
raya Galungan dan Kuningan dengan niat dan pikiran yang suci. ''Mulai
Tumpek Wariga ini umat Hindu menjalani pendakian spiritualnya untuk
menyambut perayaan Galungan dan Kuningan,'' kata Sudiana.
Pendakian spiritual umat Hindu
tersebut makin menjalani tahap yang lebih tinggi saat mendekati hari
raya Galungan. Karena itu, pada Wraspati Wage dan Sukra Kliwon wuku
Sungsang yang lebih dikenal dengan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, umat
Hindu mulai melakukan pembersihan-pembersihan di sejumlah tempat suci.
Dalam pandangan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali I Gusti Made Ngurah, makna dan
filosofi kedua sugihan tersebut adalah sebagai pembersihan makrokosmos
(alam semesta) dan
mikrokosmos (manusia) secara sekala maupun niskala. ''Sugihan Jawa merupakan pembersihan secara sekala, sementara Sugihan Bali merupakan pembersihan secara niskala,'' kata Ngurah.
mikrokosmos (manusia) secara sekala maupun niskala. ''Sugihan Jawa merupakan pembersihan secara sekala, sementara Sugihan Bali merupakan pembersihan secara niskala,'' kata Ngurah.
Sudiana lebih melihat perbedaan
Sugihan Jawa dan Sugihan Bali dari alam yang disucikan. Pada Sugihan
Jawa, kata Sudiana, lebih menekankan pada pembersihan makrokosmos atau
alam semesta. Pembersihan ini secara sekala dilakukan dengan
membersihkan palinggih atau tempat-tempat suci yang digunakan sebagai
tempat pemujaan. Ia mengatakan, dalam istilah Balinya sering disebut
dengan ngererata atau mabulung yakni pekerjaan merabas atau mencabut
rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar palinggih,'' kata Sudiana.
Sementara secara niskala juga
dilakukan pembersihan dengan jalan mengaturkan upacara banten
pengerebuan dan prayasita sebagai lambang penyucian. Semua itu diaturkan
kepada Ida Batara, para leluhur dan para dewa yang berstana di
masing-masing palinggih atau pura. Diyakini pada saat Sugihan Jawa ini,
para dewa akan turun diiringi dengan para luluhur untuk menerima
persembahan.
Simbol Pembersihan Alam
Keesekokan
harinya, tepatnya Sukra Kliwon wuku Sungsang atau sering disebut dengan
Sugihan Bali, kata Sudiana, merupakan simbol dari pembersihan alam
mikrokosmos. Pada saat ini umat melakukan tirta gocara atau tirta yatra
yakni dengan pergi ke samudera -- sumber mata air atau bisa di palinggih
atau merajan yang ada di masing-masing rumah. Ia mengatakan, dalam
praktik yoga umat Hindu pada hari ini melakukan yoga semadi yang
ditujukan untuk mulat sarira. Menyambut hari raya Galungan, umat
seharusnya memiliki kesucian batin dengan menahan diri dari segala macam
godaan indria. Hal inilah yang menjadi penekanan dalam kaitannya
pelaksanaan ritual Sugihan Bali.
Dikatakan, Sugihan Jawa dan
Sugihan Bali jika dilihat dari konsepnya menyiapkan umat Hindu
menghadapi berbagai gempuran dan godaan duniawai yang datang menjelang
hari raya Galungan. ''Pada kedua sugihan ini, kekuatan rwa bhinneda
diupayakan berada pada titik keseimbangan untuk menuju pada ketenangan
dan kedamaian,'' kata Sudiana.
Kembali pada persoalan sesaji
yang biasanya diaturkan pada saat sugihan. Dalam praktik di beberapa
tempat terutama di daerah Denpasar, banten pangerebuan ini biasanya
disertai dengan persembahan ayam, bebek atau babi guling. Hal ini
sebenarnya hanya merupakan bentuk dari tradisi. Apabila ditinjau dari
segi sastra, hal itu tidaklah mutlak. ''Artinya, tradisi ini bisa
diubah, kalau memang keyakinan untuk mengubahnya sudah cukup besar,''
kata Ngurah seraya menambahkan, apabila umat tidak memiliki keyakinan
untuk mengubahnya, hal tersebut akan tetap dijalankan.
Selain itu, umat Hindu yang
merayakan Sugihan Bali berbeda dengan mereka yang melaksanakan Sugihan
Jawa. Perbedaan ini, menurut Sudiana, semata-mata karena adanya tradisi
yang sudah berlaku secara turun-temurun. Selain itu, juga disesuaikan
dengan desa kala patra. ''Adanya perbedaan ini juga dikaitkan dengan
kedatangan Dhanghyang Astapaka dan Dhanghyang Nirarta ke Bali,'' kata
Sudiana. Ia menambahkan, di sinilah sangat berperan metode untuk
meyakinkan umat Hindu di Bali.
Di kalangan umat Hindu juga
berkembang pemikiran, bahwa umat yang melaksanakan Sugihan Jawa adalah
umat Hindu yang keturunan Majapahit. Sementara yang terkait dengan
Sugihan Bali adalah mereka yang dari keturunan Bali asli. Kenyataan ini
dibenarkan oleh Ngurah.
Ia mengatakan, adanya pembagian
umat Hindu dalam melaksanakan Sugihan Jawa dan Sugihan Bali terkait
dengan faktor historis. ''Mereka yang dari keturunan Majapahit
melaksanakan Sugihan Jawa dan yang asli Bali melaksanakan Sugihan
Bali,'' kata Ngurah.
Namun, kalau dikembalikan kepada
makna dan filosofi sugihan itu, kata Sudiana, hendaknya umat Hindu di
Bali melaksanakan kedua sugihan tersebut. Hanya, perbedaan pada
kesemarakkan pelaksanaan dari salah satu sugihan yang sudah dilakukan
secara turun-temurun memang sangat sulit dihilangkan. Artinya, kebiasaan
umat Hindu untuk melaksanakan Sugihan Jawa dengan mengaturkan upacara
pengerebuan misalnya, tetap dijalankan sebagaimana mestinya.
Adanya perbedaan pelaksanaan
masing-masing sugihan oleh dua kelompok berbeda, menurut Ngurah, adalah
bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang ada. Sementara Sudiana
memandang hal ini sebagai bentuk betapa luwes dan fleksibelnya agama
Hindu itu sendiri. Yang paling penting tentunya pemahaman yang mendasar
di kalangan umat tentang makna sesungguhnya dari sugihan itu sendiri.
I Wayan Arjawa, ST
I Wayan Arjawa, ST
Posted by Balipost on 2009-03-15